Hari Puisi Sedunia: Sepercik Puisi Itu Sendiri

Jabarekspres.com – Hari Puisi Sedunia ini tentu merupakan hari bagi puisi itu sendiri di samping yang selain-lainnya. Maka dari itu penting pula untuk membicarakan dirinya dan kisahnya dalam sepercik tulisan seperti ini.

Dalam Hari Puisi Sedunia ini, mari jangan lupakan bahwa puisi itu merupakan sistem yang terdiri dari tiga unsur: pengarangteks, dan pembaca. Tanpa ketiga hal tersebut, tidak akan pernah ada sesuatu yang disebut sebagai puisi., atau Hari Puisi Sedunia Tidak akan pernah ada teks puitis tanpa ada yang seseorang yang menulis dan teks itu sendiri hanyalah jalinan kata di atas setumpukan kertas tanpa adanya seorang pembaca.

Singkatnya, ketiga unsur itu saling melengkapi satu sama lain. Dengan begitu, sajak menjadi sesuatu yang utuh. Itu prinsip utamanya: jalan yang lurus merengkuh sajak—yang darinya kita dapat mengecap keajaiban kata-kata—dan bukan jalan mereka yang tersesat.

Tersesat? Bagaimana bisa? Begini penalarannya.

Terlepas dari apa pun motifnya, namun yang pasti bahwa tugas penulis adalah, ya menulis. Titik. Meminjam perkataannya Goenawan Mohamad dalam salah satu esainya, setelah seorang penyair selesai menulis sajak, di saat itu juga berakhirnya mata sang penyair.

Si penyair tidak tahu lagi apa yang akan terjadi, toh biar pun begitu, tugasnya selesai. Sekali lagi, selesai. Titik. Penekanannya di situ; terletak di tugasnya, bukan di ketidaktahuannya.

Berakhirnya mata seorang penyair, merupakan sikap yang tak terelakan bagi si penyair. Setelah sajaknya selesai ditulis, meminjam perkataan Chairil Anwar dalam salah satu sajaknya, penyair mesti kembali pada “kesunyian masing-masing” dengan merelakan sajaknya itu mandiri, punya ruhnya sendiri.

Dengan demikian, makna bukan lagi urusan si penyair. Makna bukan lagi miliknya, sekali pun si penyair menyimpan makna dalam sajaknya itu. Dengan merelakan bahwa sajaknya itu berdiri sendiri, si penyair tidak lagi terombang-ambing dan murangmaring sambil menggerutu, “Maknanya bukan begitu! Yang bener itu begini.”

Si sajak pun celingak-celinguk sendirian. Bukannya ia sudah mandiri? Barangkali ia seorang diri di lemari buku, di emperan, di toko buku, atau di perpustakaan. Di situ, ia menunggu. Siapa lagi kalau bukan menunggu pembaca!

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan