Dalam bidang politik, PSII banyak mengadakan rapat propaganda, dengan tema anti-imperialisme, melancarkan kritik pada pemerintah kolonial (Amin, 1996: 61).
Di tahun 1930-an lepasnya kepeloporan partai, PSII mengalami tantangan hebat. Di bidang agama, PSII mengalami degradasi dengan munculnya NU, Muhammadiyah Persatuan Islam (Persis), Al Iryad, Jamiatul Khair dan Persyarikatan Ulama.
Kemudian terjadi prahara internal ketika Soekiman Wirjosandjojo dan beberapa anggota dipecat tanpa diberi kesempatan untuk membela diri. (Thaba, 1996:143) Golongan Soekiman menginginkan agar asas yang dianut PSII beralih dari Islam menjadi kebangsaan meskipun tidak lantas menghilangkan unsur keagamaan (Muchtaruddin Ibrahim, 1985:67). Setelah hengkang dari PSII, Soekiman dan kawan-kawan membentuk Partai Islam Indonesia, disingkat PARII (Cahyo Budi Utomo, 1995:69).
Sepeninggal Tjokroaminoto yang wafat pada 1934, kisruh PSII kian kentara. Agoes Salim yang mengisi posisi Tjokroaminoto sejak 1935 mulai disorot karena pamor PSII dinilai semakin merosot, sehingga memaksa Agoes Salim untuk mengundurkan diri dalam kongres tahun 1936. Selanjutnya, kongres memilih adik kandung Tjokroaminoto, yaitu Abikoesno Tjokrosoejoso.
Pada 1936, Agoes Salim beserta A.M. Sangaji, Mohammad Roem, Soedjono Hardjosoediro, dan lainnya membentuk Barisan Penyedar Partai Sarekat Islam Indonesia. Ini membuat Abikoesno melakukan pemecatan terhadap Agoes Salim dan kawan-kawan. Tahun 1939, terjadi lagi dengan pemecatan terhadap Maridjan Kartosoewirjo. Kartosoewirjo kemudian mendirikan partai politik dengan nama yang sama yakni PSII.
Pada tahun 1942, orang Jepang pendudukan melarang semua aktivitas politik. Namun, pada tahun 1943, Jepang mendirikan sebuah organisasi bernama Masyumi dalam upaya untuk mengendalikan Islam di Indonesia. Sejak saat ini PSII menjadi bagian dari Masyumi. Dan tahun 1945 Masyumi menjadi Partai, sebagai wadah politik satu-satunya bagi umat Islam Indonesia.
PSII yang sejak Proklamasi kemerdekaan berkeinginan menghidupkan kembali eksistensi partainya, namun tak lama kemudian bergabung ke dalam Partai Masyumi.
Pada tahun 1947, PSII keluar dari Masyumi, Hal ini tidak terlepas dari ”godaan politik” Perdana Menteri Amir Syarifuddin yang membutuhkan legitimasi partai Islam, setelah Masyumi menolak bergabung kedalam kabinet yang dipimpinnya.
PSII menjadi partai sendiri, dan kemudian bergabung dalam kabinet Amir Syarifuddin, dengan memperoleh tujuh pos kementerian (Deliar Noer, 1987: 76-77)