Kudeta Burkina Faso: Musim Gugur Demokrasi di Afrika

Kabore akhirnya terpaksa merombak pemerintaham dan mengangkat dirinya sendiri sebagai menteri pertahanan.

Pihak militer menegaskan bahwa pengambilalihan kekuasaan dilakukan tanpa kekerasan dan semua pejabat yang ditahan ada di tempat yang aman.

Pernyataan itu dibuat atas nama entitas Gerakan Patriotik untuk Perlindungan dan Pemulihan atau MPSR. MPSR, yang mencakup semua bagian tentara, telah memutuskan untuk mengakhiri jabatan Presiden Kabore.

MPSR berjanji akan segera mengatur waktu untuk membawa kembali Burkina Faso ke tatanan konstitusional yang pasti dalam jangka waktu yang wajar.

Kudeta di Burkina Faso merupakan efek bola bilyard, dari trend kudeta selama dua tahun terakhir. Apa yang menimpa Burkina Faso, terlebih dahulu dialami oleh Mali, Guinea, Sudan, dan Chad.

Namun yang menarik adalah masyarakat justru bersuka cita dengan kudeta tersebut.

Perkembangan kudeta Burkina Faso memiliki kesamaan dengan peristiwa di Mali sebelum kudeta militernya sendiri pada Agustus 2020.

Ada serangkaian serangan mematikan terhadap sasaran militer dan sipil, diikuti oleh protes massa yang dipicu oleh semakin kurangnya kepercayaan pada pemerintah Presiden Mali saat itu, Ibrahim Boubacar Keita.

Pola kudeta juga persis dengan yang dilakukan oleh pasukan khusus Guinea ketika menggulingkan pemerintahan, pada bulan September 2021.

Yang agak berbeda adalah pasukan Guinea melakukan penahanan terhadap presiden Alpha Conde, di Burkina Faso, presiden tidak tertangkap dan kesamaan lainnya adalah pembubaran pemerintah beserta konstitusinya.

Kepala unit pasukan khusus Guinea Mamady Doumbouya mengatakan bahwa kemiskinan dan korupsi endemik telah mendorong pasukannya untuk menggulingkan Presiden Conde dari jabatannya.

Conde memenangkan masa jabatan ketiga pada Oktober setelah mengubah konstitusi untuk memungkinkan dia menjabat kembali. Keputusan tersebut memicu protes keras dari oposisi.

Guinea telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan selama dekade Conde berkuasa berkat kekayaan bauksit, bijih besi, emas, dan berliannya.

Tetapi, hanya sedikit warganya yang merasakan manfaat dari pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Para kritikus mengatakan pemerintahnya telah menggunakan undang-undang pidana yang membatasi perbedaan pendapat, sehingga warga kelas menengah ke bawah tidak memiliki ruang untuk bersuara.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan