Ada ‘Politik’ di Tuntutan Pidana Mati Kasus ASABRI, Ini Penjelasan Pakar

TUNTUTAN pidana mati kasus ASABRI yang muncul secara tiba-tiba tanpa diuraikan dalam surat dakwaan sebagai dasar pemeriksaan, ternyata menimbulkan tanya.

Benarkah ada nuansa “politik” di dalamnya?

Dilansir dari Jawa Pos, menurut pakar hukum pidana, Petrus Selestinus, menilai bahwa tuntutan pidana mati terdakwa kasus dugaan korupsi PT. ASABRI, Heru Hidayar tersebut kental dengan nuansa politik.

Dirinya mengatakan, “Dalam aturan KUHAP itu jelas disebutkan, surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang, kata penghubung yang dipakai adalah ‘dan’ bukan ‘atau’,” ungkapnya, Minggu (16/1)

Karena itu, lanjutnya, putusan hakim tidak boleh keluar dari substansi surat dakwaan dan fakta-fakta persidangan. Dalam dakwaan jaksa tidak memasukkan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor yang mengatur ancaman pidana mati bagi terdakwa.

Pidana mati diberikan, kata Petrus, jika korupsi dalam kondisi tertentu, yakni bencana nasional, krisis moneter dan pengulangan tindak pidana.

Karena itu, Petrus mengingatkan majelis hakim agar hati-hati dan menjaga independensinya dalam memutuskan hukuman dengan ancaman pidana mati terhadap Heru Hidayat.

“Hakim tidak boleh terpengaruh oleh emosi publik, tekanan publik dan narasi populis demi membenarkan hukuman mati dalam memutuskan perkara tanpa mengindahkan peraturan perundang-undangan dan fakta-fakta persidangan,” cetus Petrus.

Dalam tuntutannya, Heru Hidayat dituntut hukuman mati dalam kasus dugaan korupsi PT. ASABRI, oleh jaksa penuntut umum (JPU) pada Kejaksaan Agung. Heru Hidayat diyakini bersama-sama merugikan keuangan negara sebesar Rp 22.788.566.482.083 atau Rp 22,7 triliun.

Selain tuntutan pidana hukuman mati, Heru Hidayat juga dituntut untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 12.643.400.946.226 dengan ketentuan jika tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu satu bulan sesudah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

Heru Hidayat dituntut melanggar melanggar Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan kedua primair Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. (jp/zar)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan