TASIKMALAYA – Aksi kekerasan seksual terhadap santriwati yang terjadi di Tasikmalaya, Jawa Barat, kini memasuki tahap baru. Para korban mulai berani melaporkan tindakan bejad gurunya, setelah mendapat pendampingan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAID) Kabupaten Tasikmalaya.
Ketua KPAID Kabupaten Tasikmalaya Ato Rinanto SIP mengatakan, sudah ada dua korban yang melaporkan kejadian tersebut ke Unit Perlindungan Anak Perempuan (PPA) Satreskrim Polres Tasikmalaya dengan dibantu oleh KPAID.
“Sekarang untuk kedua kalinya mendampingi korban dan melaporkan dugaan kasus pencabulan ke Unit PPA Satreskrim Polres Tasikmalaya,” ujarnya menjelaskan seperti Radartasik.com, Jumat, 10 Desember 2021.
Kami sedang mendampingi kasus dugaan cabul yang dilakukan oleh oknum guru ngaji atau pengurus salah satu pondok beberapa para santriwatinya dan hari ini kami mendampingi korban kedua yang terlupakan dicabuli, ungkap Ato.
Menurut dia, setelah KPAID melakukan terapi terhadap lima orang santriwati yang terlupakan menjadi korban. Namun, yang sudah memenuhi dan ada alat bukti, baru dua yang KPAID laporkan ke Polres Tasikmalaya. Dari hasil terapis dan pengakuan lainnya, disinyalir masih ada lagi nama-nama korban lainnya, jadi ada sembilan orang.
Masih kita dalami, setelah menemukan ada peristiwa hukum, langkah KPAID memutuskan untuk melaporkan ke Satreskrim Polres Tasikmalaya, termasuk.
Dia menambahkan, dari hasil investigasi dan keterangan korban, diklaim diduga dicabuli dengan diraba payudara dan alat kelaminnya. Kemudian, korban atau santriwati dicabuli saat sedang sakit berada di kobong pesantren. Sementara santriwati lainnya sedang mengaji.
“Diduga oknum guru atau pengurus pesantren tersebut melakukan pencabulan dan korban tidak melawan karena seolah-olah terbujuk oleh simpati dari oknum guru ngaji tersebut,” kata dia, menjelaskan.
Ato menambahkan perilaku menyimpang guru mengaji tersebut dilakukan beberapa tahun ke belakang, namun baru terkuak saat ini. Para korban dicabuli lebih dari satu kali.
“Kita sekarang lakukan pendampingan karena korban mengalami trauma psikis yang cukup serius. Sehingga KPAID melakukan pendampingan pemulihan psikis bersama tim terapis KPAID,” kata dia.
Korban merupakan santriwati dan anak yang masih di bawah umur atau rata-rata usia 15 tahun dan masih duduk di bangku SMP/MTS dan Madrasah Aliyah (MA).