JAKARTA – Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang angkat bicara ancaman hukuman mati di Indonesia, khususnya perkara korupsi. Tuntutan tersebut dinilai sama sekali tidak mencerminkan pembangunan peradaban hukum yang sustainable atau berkelanjutan.
Tuntutan hukuman mati disampaikan jaksa terhadap Heru Hidayat, terdakwa kasus dugaan korupsi PT Asabri pada sidang pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
“Sejarah menunjukkan hukuman mati tidak membangun peradaban hukum yang sustain. Sebaiknya dihukum sesuai hukum positif kita, misalnya seumur hidup penjara atau hukuman maksimal lainnya,” kata Saut dalam keterangannya, Sabtu (11/12).
Saat ditanya apakah hukuman mati dapat benar-benar menjadi solusi ampuh menghentikan laju tindak pidana korupsi di Indonesia. Saut menyinggung soal Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia berada di posisi rendah yaitu di angka 37.
“Kita masih pada angka CPI 37. Kerjaan memati-matikan koruptor itu hanya seperti menembak segerombolan orang jahat yang sedang melakukan aksi, anggota kelompok yang lain kabur dan tiarap sementara untuk kemudian beraksi lagi kapan-kapan,” ujar Saut.
Dengan tegas Saut menyebut, masih banyak opsi lain dalam upaya pemberantasan korupsi secara maksimal di Indonesia. Saut mencontohkan seperti vonis 100 tahun, tanpa peduli besar atau kecil uang yang dikorupsi. Namun, tidak ada opsi untuk hukuman mati dalam penegakan hukum terkait kasus demikian.
“Setiap kasus korupsi dalam hal persekongkolan kelompok dan peran siapapun harus dituntaskan. Tidak ada pembenaran penjara penuh, restorative justice dan lainnya. Kalau mau sustain memberantas korupsi, tidak ada cara lain kecuali dengan pendekatan kompleks yang mengadili siapapun, besar atau kecil yang dicuri. Jadi bukan dengan pendekatan hukuman mati agar orang berhenti korupsi karena nilainya besar, misalnya,” ucap Saut.
Saut menegaskan, solusi dari persoalan hukuman mati yang kontroversial dalam tindak pidana korupsi ini adalah dengan memaksimalkan hukuman penahanan atau penjara seumur hidup. Bahkan bila perlu sampai 100 tahun, bila ada di dalam hukum positif Indonesia.
“Jadi kita ubah terlebih dahulu UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian memungkinkan kita bisa memenjarakan koruptor 100 atau 200 tahun, daripada sekadar jalan pintas buat UU Omnibus Law dan lainnya. Mengapa kita tidak belajar dari banyak negara soal pendekatan sistem dan menuntaskan masalah ‘tone at top’ yang roller coaster di negeri ini?” kata Saut.