Epidemiolog Nyatakan Risiko Penularan di Pesawat Rendah, Ini Penjelasannya

SE satgas yang sebelumnya menyebutkan boleh menggunakan antigen asalkan telah divaksin, menurut Dicky, sudah tepat. Syarat vaksinasi, tidak bergejala, dan tidak dalam status kontak bisa dijadikan patokan dalam screening perjalanan. ”Bahkan nanti kalau perjalanan domestik, antardaerah yang populasi sudah divaksin 80 persen,” jelasnya.

Menurut Dicky, penggunaan antigen pada syarat penerbangan bukan dengan maksud melonggarkan, namun lebih mempertimbangkan cost-effectiveness dari tes. PCR, lanjut dia, adalah opsi terakhir. Efektivitas biaya itu harus dipenuhi tidak hanya soal murah, tapi juga mudah, cepat, dan memakan sumber daya yang lebih sedikit. ’’Kecuali pemerintah mau memberi subsidi,” tuturnya.

Di sisi lain, mantan Direktur WHO Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama mengatakan, perjalanan udara sebaiknya tetap menggunakan tes PCR. ”Karena tes PCR merupakan gold standard dengan tingkat akurasi tertinggi. Artinya, hasil negatif tes PCR memberikan keamanan yang lebih tinggi untuk pencegahan penularan Covid-19,” paparnya.

Sementara itu, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menilai syarat wajib tes PCR untuk pesawat akan membuat traveling cost wisatawan membengkak. Hal itu berpotensi mengurangi minat orang untuk bermobilitas. ”Pergerakan pasti terhambat. Hal ini bakal kembali menghantam pelaku wisata, perjalanan, dan perhotelan. Sebab, biaya tes PCR masih sangat mahal,” ujar Sekjen PHRI Maulana Yusran.

Menurut dia, syarat wajib tes PCR kontras dengan upaya mendorong pertumbuhan di sektor pariwisata. Selepas Juli–Agustus, kata Maulana, pelaku perhotelan mulai mendulang pemasukan lewat peningkatan pada September. ”Dengan pelonggaran kemarin, daerah Jawa-Bali lumayan ada peningkatan 5–10 persen,” ungkapnya.

Maulana menuturkan, biasanya kontribusi okupansi di kuartal ketiga dan keempat datang dari kegiatan meeting, incentive, convention, and exhibition (MICE), terutama sektor pemerintahan. Ditambah periode liburan Natal dan tahun baru (Nataru). ”Jika tes PCR memang jadi persyaratan mutlak, seharusnya hasil tes bisa di bawah 10 jam dan harganya lebih murah agar tidak signifikan menambah traveling cost,” tegasnya.

Ketua Umum Indonesia National Air Carrier’s Association (INACA) Denon Prawiraatmadja juga mengeluhkan pengetatan perjalanan udara domestik melalui wajib tes PCR. ”Sejumlah daerah status PPKM turun, tapi syarat perjalanan udara makin diperketat,” ucap pria yang menjabat wakil ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Perhubungan tersebut.

Tinggalkan Balasan