Ono Surono: Lahan Tebu PG Jatitujuh Milik Perhutani, KLH Jangan Tutup Mata

INDRAMAYU – Pengeroyokan dan pembunuhan terhadap dua petani mitra Pabrik Gula (PG) Jatitujuh oleh sekelompok orang pada Senin (4/10), di Desa Sukamulya Kecamatan Tukdana Kabupaten Indramayu harus ditindak secara hukum hingga tuntas mulai dari pelaku hingga otak atau dalangnya.

Anggota Komisi IV DPR RI Ono Surono menilai, kasus ini bukan lagi semata konflik agraria antara PG Jatitujuh dengan kelompok masyarakat yang mengatasnamakan Fkamis.

Menurutnya, kasus ini murni merupakan tindak pidana yang tidak boleh ditolerir secara hukum .

“Saya sangat mendukung dan apresiasi upaya hukum dari Kepolisian Republik Indonesia Resort Indramayu yang sudah melakukan proses hukum dengan cepat di hari kejadian,” kata Ketua DPD PDI Perjuangan Jawa Barat ini, Selasa (5/10).

Perlu diketahui, kata Ono, bahwa lahan tebu PG Jatitujuh ini dulunya adalah kawasan hutan yang dikelola oleh PT. Perhutani.

Dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan PG Jatitujuh wajib memberikan lahan pengganti.

Tetapi, imbuh dia, lahan pengganti itu tidak pernah diberikan sampai dengan habisnya masa HGU.

“Saat itu muncul reaksi dari masyarakat menuntut PG Jatitujuh untuk segera memberikan lahan pengganti atau HGU lahan tebu dicabut dan lahan tebu itu dijadikan hutan kembali,” ujarnya.

Pemerintah pusat khususnya Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang mempunyai kewenangan terhadap lahan pengganti atau perubahan fungsi hutan dipastikan sudah mengetahui permasalahan ini sejak lama termasuk potensi-potensi konflik antara PG Jatitujuh dan masyarakat.

Namun, lanjut Ono, Menteri lingkungan hidup dan kehutanan seakan tutup mata dan membiarkan masalah ini berlarut-larut.

“Sehingga sangat disayangkan akhirnya terjadi konflik horizontal antara masyarakat,” ungkapnya.

Menurut Ono, di sisi lain pada saat munculnya masalah tuntutan masyarakat terhadap pencabutan HGU atau lahan tebu menjadi kawasan hutan pernah ada tawaran solusi untuk dilakukan kerjasama atau kemitraan antara PG Jatitujuh dengan masyarakat.

Tetapi, pihak PG Jatitujuh menolak. Sehingga terjadi penguasaan lahan tebu oleh masyarakat secara ilegal.

“Setelah masyarakat yang mengatasnamakan FKamis terus menerus menguasai lahan secara ilegal sampai ribuan hektar, barulah PG Jatitujuh melakukan kemitraan dengan kelompok masyarakat lainnya. Hal inilah yang menjadi dasar akhirnya terjadi kasus pengeroyokan dan pembunuhan terhadap dua petani tebu,” tutur Ono.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan