Strategi Bela Negara untuk Menyiapkan Generasi Berkualitas di Era Society 5.0

3. Implementasi adaptif dari Pancasila sebagai working ideology bangsa (pusat kekuatan, kultur strategis, dan cara hidup bangsa) yang termaknai dan terimplementasikan secara membumi dalam kehidupan sehari-hari dari seluruh komponen masyarakat Indonesia.

Berdasarkan penjelasan yang elaboratif dari the Ideology and National Competitiveness: An Analysis of Nine Countries (George C. Lodge dan Ezra F. Vogel; Harvard Business School Press), kemampuan suatu negara untuk mengadaptasikan dan menjadikan ideologi bangsanya sebagai working ideology yang mengakar di dalam seluruh aspek kehidupan bangsa pada tingkat keseharian akan mampu mencapai keunggulan nasional relatif di tingkat global. Kesimpulan ini diambil dari pembelajaran yang terjadi di Britania Raya, Perancis, Jerman, Amerika Serikat, Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Brazil dan Meksiko. Oleh karena itu, setiap upaya strategis bela negara untuk menciptakan manusia-manusia siber yang tangguh dan kompetitif dari generasi mendatang tidak dapat terlepaskan dari kemampuan negara untuk menjabarkan nilai-nilai Pancasila secara adaptif seiring dengan perkembangan zaman dan perubahan kultur masyarakat di tingkat global. Tekait dengan hal tersebut, terdapat lima premis untuk bangsa Indonesia mampu mengadaptasikan nilai-nilai Pancasila sebagai working ideology yang tetap relevan sesuai perkembangan zaman.

Premis pertama: ideologi adalah roh, falsafah hidup, kultur strategis, dan identitas kolektif (DNA) bangsa. Dengan demikian Pancasila adalah strategi bangsa itu sendiri, dan strategi adalah bagaimana tentang mengubah lingkungan strategis internal dan eksternal secara berkesinambungan agar tetap menguntungkan untuk mencapai sasaran strategis yang diharapkan di masa depan. Strategi selalu merupakan titik awal dan bukan titik akhir. Premis kedua: ideologi adalah bahan bakar mesin pembangunan bangsa di tengah persaingan dunia sehingga harus terus ditransformasikan tanpa mengubah esensi dan eksistensi nya. Premis ketiga: tidak ada satu negarapun yang murni menjalankan ideologi nya. Pancasila juga merupakan asimilasi-sintesa dari civilization Timur dan Barat dan berhubungan dengan ideologi-ideologi Super-Power sebelumnya.

Premis keempat: harus dibedakan antara ideologi sebagai mitos-propaganda; ideologi sebagai framing, paradigms, discourses, dan narratives; dan ideologi sebagai filsafat dan implementasi kebijakan publik. Premis kelima: ideologi harus dijabarkan menjadi gaya hidup, sistem politik-ekonomi, dan gaya manajemen dari suatu bangsa (manajemen Kaizen di Jepang yang berbasis kepada budaya improvisasi; serta manajemen Taylorism & Fordism di AS yang berbasis kepada budaya efisiensi dan produktifitas). Berdasarkan kelima premis ini maka implementasi Pancasila yang dimaksudkan harus berfokus kepada kualitas dan buah kehidupan manusia Indonesia berdasarkan keimanan kepada Tuhan YME, pembangunan manusia yang bermartabat, toleransi dan persatuan bangsa, demokrasi yang bertanggung jawab dan produktif, serta keadilan dan kesejahteraan kolektif bangsa dimana pada akhirnya setiap sila di dalam Pancasila harus dapat diukur indikator pencapaiannya seperti antara lain melalui Corruption Perception Index, Crime Index, Human Development Index, World Happiness Index, Human Freedom Index, Tolerance Index, National Unity Index, Democracy Index, Gini Coefficient, Human Poverty Index, Welfare State Index, Global Peace Index, dan Welfare State Index.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan