“PV (Photovoltaic Rooftop) yang hanya beberapa persen itu menyebabkan 70 juta pelanggan PLN merasakan dampak kenaikan BPP. Kecuali negara mau menanggung, silakan,” ujarnya.
Dia mengakui saat ini penggunaan energi terbarukan (renewable energy) adalah sebuah keniscayaan yang akan ada dan berjalan ke depan. Di Vietnam misalnya, pertumbuhan PLTS atap mencapai 2.000 megawatt (MW) atau 2 GW dalam dua tahun. Penyedia PLTS atap di Vietnam inilah yang kemudian mulai bergeser ke Indonesia sehingga muncul tekanan untuk mendorong perkembangan PLTS atap.
“Inilah yang kemudian muncul tekanan hingga mengubah aturan yang baru dari sebelumnya 65 persen harga jual listrik Rooftop PV ke PLN dari sisa energi yang telah dipakai menjadi 100 persen,” kata Nanang.
Secara terpisah, Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, menilai para pihak perlu pemahaman utuh jangan sampai pengembangan PLTS atap hanya didorong upaya mencapai target 23 persen EBT tanpa disertai informasi lain yang utuh. PLTS paling cepat prosesnya betul, tetapi risiko biaya yang tinggi juga harus dipahami.
“Risiko biaya yang timbul karena sifatnya yang intermiten karena hanya mampu berproduksi sekitar 4-6 jam per hari sehingga sisanya memerlukan bantuan dari jenis pembangkit yang lain yang kalau dijumlahkan biayanya tentu lebih mahal bagi PLN,” kata Komaidi.
Komaidi berharap regulasi terkait PLTS atap harus klir dengan memperhatikan banyak aspek. Apalagi saat ini sebagian besar komponennya masih sangat bergantung pada impor.
“Pengembangan PLTS atap perlu disinergikan dengan kebijakan TKDN agar manfaat ekonominya lebih besar lagi,” ujarnya.
(Antaranews)