Pakar ITB: Regulasi PLTS Atap Bisa Timbulkan Kenaikan Tarif Listrik

JAKARTA – Upaya pemerintah mendorong penggunaan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap dengan mengubah regulasi harga beli listriknya dari semula 65 persen menjadi 100 persen akan menimbulkan ketidakadilan bagi sebagian besar pelanggan listrik PT PLN (Persero).

Nanang Hariyanto, pakar energi listrik dari Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) Institut Teknologi Bandung (ITB),  melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu, mengatakan jika dipasang PLTS atap, beban yang ada di rumah akan mengambil lebih dulu energi yang dihasilkan dari PLTS atap.

Sisanya dari solar radiasi yang dihasilkan kemudian dikirim ke jaringan PLN. Dari jaringan PLN kemudian dikirim ke rumah-rumah yang lain. Harga listrik sisa harus dibeli PLN dengan harga yang sama dengan harga jual listrik PLN sebesar Rp 1.440,7 per KWh.

“Ini yang saya lihat tidak adil. Waktu pengiriman ada susut energi karena melalui jaringan PLN. Belum lagi ada biaya pemeliharaan jaringan dan biaya pengembalian investasi jaringan PLN. Harganya harus adil,” ujar Nanang.

Menurut Nanang, harga jual listrik dari PLTS atap lebih mahal dibandingkan pembangkit PLTS non atap. Contohnya PLTS non atap seperti PLTS Cirata harga jual listriknya adalah 4 sen dolar AS per KWh atau setara Rp600 per KWh. Sedangkan PLTS atap dijual ke PLN seharga Rp1.440 per KWh.

“Akibatnya, tentu saja biaya pokok produksi (BPP) PLN akan naik,” kata Ketua Laboratorium Sistem Tenaga Listrik ITB.

Selain itu, lanjut Nanang, sistem kelistrikan Jawa Bali ditopang banyak pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang harus terus menerus beroperasi. Namun karena ada PLTS Atap, beban akan dipenuhi terlebih dahulu dari pasokan PLTS atap. Akibatnya, operasi PLTU di tekan ke bawah. PLTU yang biasanya beroperasi 70-80 persen, karena ada PLTS atap, beban turun sehingga menekan operasi PLTU hingga 50-60 persen.

“Karena turun, keberadaan PLTS atap menekan operasi PLTU  hingga 50-60 (persen). Dampaknya, efisiensi PLTU menjadi rendah,” ungkap Nanang saat diskusi dengan media secara virtual, Sabtu (14/8) sore.

Akibat dua faktor itu, BPP listrik PLN dari pembangkit Jawa Bali menjadi naik. Semua pelanggan PLN akan menanggungnya. Padahal penyedia PLTS rooftop jumlahnya hanya beberapa persen. Kalau naik, harus disubsidi oleh negara dan menjadi beban APBN.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan