DPR Kaget, Kasus Mafia Tanah di Indonesia Sampai Ribuan

DENPASAR – Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menerima ribuan pengaduan terkait ulah mafia tanah di seluruh Indonesia.

Menurut anggota Komisi II DPR Mardani Ali Sera, jumlahnya berkisar 1.700 laporan.

“Kalau di DPR RI ada sekitar 1.700an laporannya dan akan kami selesaikan,” ujar Mardani Ali Sera saat ditemui di Kantor BPN Denpasar, Bali, Jumat (25/6).

Politikus partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menyebut, DPR saat ini sedang melakukan kategorisasi.

“Mafia tanah ini punya banyak modus operandi, maka akan kami petakan ada berapa modus, apa ‘roadmap’ (peta jalan) dan penyelesaian masing-masing, targetnya apa dan anggarannya berapa,” ucap Mardani.

Dia mengatakan terkait keberadaan mafia tanah biasanya ditemukan di mana ada nilai jual objek pajak (NJOP) yang tinggi, maka aksi dari mafia tanah tinggi dan itu adalah hukum ekonomi.

“Misalnya, harga tanah rendah kan enggak ada untungnya, klaimnya kecil, di wilayah Universitas Udayana Bali setiap tahun ada gugatan karena tanah harga mahal dan punya wilayahnya besar. Jadi hal-hal seperti ini harus diminimalisasi dan berada di bawah payung hukum yang kuat,” ucapnya.

Lalu ada peran penegak hukum, peran dari eksekutif, legislatif dan yudikatif yang juga dibutuhkan untuk ikut bersama-sama turun menyelesaikan masalah ini.

“Kami lakukan revisi UU Pertanahan bahwa kami ingin ada peradilan pertanahan. Karena selama ini selalu ada konflik ketika dibawa ke pengadilan yang menang itu mafianya,” katanya.

“Pihak yang kalah aset ini habis semua, kenapa? bukan bermaksud menuduh hakimnya, artinya mungkin (hakim) tidak mengerti atau kurang paham soal pertanahan,” tambahnya.

Menurut Mardani, pergerakan mafia tanah dapat dihambat ketika masyarakat sadar hukum dan bisa menjaga diri sendiri. Selain itu, juga didukung dari hasil kerja sama dengan Polri, Kejaksaan dan pihak terkait lainnya.

Untuk kasus mafia tanah yang paling sering mendapat perhatian yaitu ketika sudah melibatkan masyarakat banyak hingga menimbulkan korban jiwa.

“Ada beberapa kasus yang ‘diatensi’ salah satunya yang terjadi di Sumatera Barat itu ada 20 hektare hampir 12 ribu masyarakat sudah tinggal puluhan tahun tetapi menggunakan verponding, dialihkan ulang,” ucapnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan