Luhut: Indonesia Akan Memproduksi 600 Ribu Mobil Listrik dan 2,45 Juta Motor Listrik

JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan, menyebut, bahwa Indonesia bakal memproduksi 600.000 mobil listrik dan 2,45 juta motor listrik.

Menurutnya, permintaan kendaaraan listrik secara global diperkirakan mencapai 31,1 juta unit pada 2030. Hal itu seiring meningkatnya kesadaran masyarakat global untuk mengurangi emisi karbon.

“Pemerintah Indonesia sendiri menargetkan dapat memproduksi 600.000 unit mobil listrik dan 2,45 juta motor listrik,” kata Luhut, Kamis (24/6/2021).

Luhut menilai, dengan terjadinya peningkatan permintaan kendaraan listrik dapat menaikkan permintaan baterai, terutama jenis NCM (nickel-cobalt-mangan).

“Terkait dengan kebutuhan baterai jenis NCM, pemerintah telah meresmikan operasi produksi fasilitas HPAL (High Pressure Acid Leaching) di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara,” ujarnya.

Luhut menjelaskan, pengolahan bijih nikel HPAL berbasis teknologi hidrometalurgi ini akan mendorong percepatan hilirisasi mineral menuju industrialisasi berbasis baterai dan pengembangan kendaraan listrik di Indonesia.

“Teknologi pengolahan untuk bijih nikel bisa melalui jalur RKEF (pirometalurgi) maupun HPAL (hidrometalurgi) seperti yang ada di Pulau Obi ini,” terangnya.

Selain itu, kata Luhut, smelter HPAL ini akan banyak memanfaatkan bijih nikel dengan kadar yang lebih rendah (limonit), yang jumlahnya sangat melimpah di Indonesia. Ini merupakan bagian dari optimasi atau peningkatan nilai tambah dari sumberdaya mineral yang dimiliki oleh Indonesia.

“Indonesia memiliki sumberdaya dan cadangan nikel serta cobalt yang cukup, didukung oleh mineral lain seperti tembaga, alumunium, dan timah yang akan menjadi modal besar untuk bermain dalam industri kendaraan listrik,” tuturnya.

Di sisi lain, lanjut Luhut, proses HPAL dapat menghasilkan produk nikel kelas satu, yakni Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) dengan turunannya berupa nikel sulfat (NiSO4) dan cobalt sulfat (CoSO4) yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku baterai.

“Produk-produk ini bernilai tambah lebih tinggi dibandingkan dengan produk yang dihasilkan dari jalur RKEF. Untuk itu, kita perlu dukung dan terus didorong untuk terjadi peningkatan investasi agar ada penambahan line (jalur) produksi, sehingga kita mendapat sebesar-besarnya manfaat dari proses produksi ini,” pungkasnya. (Fin.co.id)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan