Panitia pengelola zakat fitrah yang biasanya ada di masjid bisa bermitra dengan suplayer bahan makanan. Dengan begitu, jika ada masyarakat yang berniat membayar zakat tapi hanya membawa uang maka bisa diarahkan membelinya terlebih dahulu di stand/pos zakat setempat.
Setelah muzakki menerima beras, transaksi penerimaan zakat baru kemudian dijalankan sebagaimana biasanya.
Sistem jual beli mirip seperti di atas, sebetulnya sudah banyak dijalankan oleh panitia pengelolaan zakat. Tapi pada prakteknya beras yang dijadikan transaksi jual beli bukan beras murni persediaan panitia, tapi beras dari hasil zakat orang lain.
Untuk itu, praktek menjual beras zakat seperti ini tidak diperbolehkan. Selain itu, bagi panitia yang tidak resmi atau tidak mendapat SK dari pemerintah tidak dinamakan sebagai amil. Mereka hanya berlaku sebagai relawan saja.
Sehingga aturannya semua operasional tidak boleh dibebankan/diambilkan dari hasil zakat itu. Akan tetapi, jika panitia membutuhkan biaya operasional maka panitia boleh mengambil untung dari hasil jual beli beras dengan syarat murni untung dari praktek jual beli.
Contoh, panitia mengumumkan, bagi masyarakat yang ingin menyalurkan zakat melalui panitia dengan membawa beras silahkan datang dengan membawa beras 2,5 kg (ada pendapat yang 2,7 kg, silakan memilih). Bagi yang ingin membawa uang besar nominalnya adalah Rp 35.000 dengan asumsi harga beras Rp. 12.500/kg. dengan begitu panitia akan untung sekitar Rp. 4.000/muzakki.
Dengan 4 ribu inilah roda operasional panitia berjalan tanpa mengganggu harta zakat sama sekali. Jika ada 100 orang saja maka uang Rp. 400.000 sudah cukup untuk operasional panitia.
Akan tetapi proses jual beli ini tidak diperkenankan digelar di masjid. Panitia harus mendirikan stand i di bagian terpisah dari masjid.
Keempat, secara umum Syafi’iyyah memandang bahwa kiai atau ustadz bukan bagian dari sabilillah, mustahiq zakat.
Mereka tidak berhak menerima zakat kecuali jika kebetulan mereka termasuk golongan/ashnaf lain selain sabilillah.
Akan tetapi jika kebetulan mereka fakir atau miskin, maka mereka berhak menerima zakat atas nama dia sebagai fakir miskin bukan kapasitasnya sebagai kiai atau ustadz.