Mengenal Komunitas Bambu dan Sosok JJ Rizal

Menurut Rizal, seperti namanya, Kobam sendiri semenjak awal diniatkan menjadi sebuah media produksi pengetahuan yang bertujuan menjawab krisis nilai yang ada. Seperti anthurium bambu, Kobam juga diharapkan mampu menyambungkan pikiran antara problem lokal dan problem nasional, dan akhirnya internasional.

“Maksudnya adalah bahwa kita mengalami krisis nilai itu luas banget bukan hanya nasional tapi juga lokal. Sehingga kita enggak bisa mengenali nasional tanpa mengenali lokal. Ya itulah alasan kita mendirikan komunitas bambu. Dan mayoritas dulunya buku-buku terbitan sejarah karena memang hanya melalui sejarah kita bisa belajar tentang nilai dan menemukan kembali nilai. Itu alasan kenapa kita bikin komunitas bambu,” tandas dia.

Lebih lanjut, Rizal menjelaskan alasan mengapa dirinya mendirikan publisher (lembaga penerbit) dan bukan yang lain, ternyata hal itu berkaitan kuat dengan komitmen melawan penyebaran nilai-nilai yang diproduksi oleh pemerintah Orde Baru, yang menurutnya bertolak belakang dengan nilai ke Indonesiaan.

“Waktu itu kita pilihnya publisher karena persoalan diseminasi nilai. Karena yang penting dilakukan adalah melawan diseminasi nilai Orde Baru yang mana itu (nilai-nilai Orde Baru – red) justru membunuh nilai-nilai Keindonesiaan. Jadi kita harus against (melawan) produksi pengetahuan palsu, atau propaganda begitu dari Orde Baru yang membuat kerusakan nilai secara luas. Jadi langkah pertama kita memahami Indonesia dengan memahami Orde Baru juga. Jadi apa itu Indonesia, kita melihat apa itu Orde Baru,” imbuhnya.

“Kita melihat ini sebagai sesuatu yang paradoksal, sesuatu yang berlawanan. Dibayangkan sebagai suatu republik, tetapi kemudian menjadi sebuah sistem kekuasaan patrimonial. Karena itu kita mulai menerbitkan karya-karya seperti Tan Malaka, “Menuju Republik Indonesia”. Karena untuk mengenali lagi, maka seri Tan Malaka kita terbitin lagi sampai kita dianggap kekiri-kirian, bahkan penerbit kiri. Padahal kita mau menjelaskan apa itu Indonesia,” tambahnya lagi.

Rizal berujar, dari pengalaman menerbitkan buku-buku yang dicap sebagai “kiri” itu pada akhirnya tak disangka kalau mayoritas dari bapak pendiri bangsa adalah tokoh-tokoh berhaluan kiri. “Dan kemudian kita menemukan mayoritas pendiri bangsa kita itu memang kiri. Kiri itu bukan dalam artian ideologi, tapi dia medium pembebasan terhadap kolonialisme,” cetusnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan