Skenario Fatamorgana

Trump memang terus mengikuti pergerakan pendukungnya memasuki Capitol. Yakni dari siaran streaming TV besar di Gedung Putih. Tapi ia tidak mengeluarkan dekrit yang mereka tunggu.

Maka setelah lima jam berada di Capitol –termasuk berhasil menjarah ruang kerja Pelosi dan mengambil laptopnyi– mereka berhasil dihalau.

Kini sudah lebih 400 orang ditangkap. Termasuk yang sudah membawa borgol ke Capitol. Juga yang berteriak ”gantung Pence”.

Komando Jihad di tahun 1968-1970 pun seperti itu. Beredar skenario di kalangan gerakan Islam tertentu bahwa Indonesia akan jadi komunis. Islam harus bergerak. Bahkan ada provokasi lebih baik mendirikan Negara Islam Indonesia.

Waktu itu saya masih kelas 3 Madrasah Aliyah (SMA). Saya termasuk yang diprovokasi itu. Saya memang sekretaris jenderal asosiasi santri di 100 madrasah lebih.

Teman-teman saya bersemangat sekali untuk mendirikan Negara Islam. Mereka mengatakan sudah 9 batalyon tentara yang memihak gerakan itu.

Kebetulan nafsu untuk mendirikan Negara Islam memang ada. Di bawah permukaan.

Setelah dirasa matang Komando Jihad bergerak. Atau, tepatnya, akan bergerak. Lalu ditangkapi. Ketua umum saya ditangkap. Ia cerdas. Bintang pelajar. Pandai pidato. Jago indoktrinasi.

Ternyata tidak ada itu dukungan batalyon yang disebut-sebut.

Guru dan teman-teman saya ditangkap. Ketua umum yang hebat tadi ditahan. Dimasukkan penjara. Hukumannya 20 tahun di penjara Koblen Surabaya. Masa depannya habis di penjara. Kepintarannya sia-sia.

Mereka umumnya tergiur oleh pancingan skenario seperti itu. Aneh. Masyarakat kelas Amerika juga terjebak skenario menduduki Capitol. Entah dari mana datangnya.

Baru sekian tahun kemudian diketahui: komandan tertinggi Komando Jihad itu, Haji Ismail Pranoto, putra tokoh pemberontak NII di Jabar, berkantor di sebelah ruang kerja Kepala Bakin Ali Murtopo.

Fanatik memang buta. Termasuk buta terhadap skenario fatamorgana. Dan hebatnya ini terjadi juga di Amerika. Di zaman medsos dan internet.

Bagaimana pula tidak terjadi di negara yang seperti kita. (Dahlan Iskan)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan