Regulasi Rapid Test Antigen Tidak Jelas

BANDUNG – Regulasi atau kebijakan rapid test antigen di Jawa Barat (Jabar) dinilai membingungkan alias tidak jelas. Sebagai mana diketahui, Pemkot Bandung membuat kebijakan dengan mewajibkan wisatawan menunjukkan hasil rapid test antigen jika ingin mengunjungi Kota Bandung untuk berlibur Natal dan Tahun Baru (Nataru).

Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran (PHRI) Jawa Barat Herman menyebut, kebijakan tersebut membingungkan wisatawan karena berbeda-beda antara kebijakan dari pusat dan daerah.

“Saya enggak ngerti juga, mulai pusat sampai ke daerah itu berbeda-beda kebijakan. Jadi kalau pada pertama saya mendengar di Gedung Sate, Menko Maritim hanya menekankan untuk di Jakarta dan Bali. Kemudian di Bandung test antigen, kalau di Bali itu swab yang pakai pesawat,” ujarnya saat dihubungi Jabar Ekspres, Selasa (22/12).

Dia khawatir, adanya syarat rapid test antigen ini akan berpotensi menimbulkan pembatalan hotel yang sudah dibooking oleh wisatawan seperti halnya yang terjadi di Bali.

“Bali mengembalikan (refund) Rp 317 miliar, ini di Jawa Barat juga akan terjadi seperti itu. Orang sudah mesan tiket datang ke bali, dengan adanya diwajibkan pakai rapid test antigen san swab orang membatalkan kedatangannya ke Bali, pihak hotel harus mengembalikan uang,” ungkapnya.

Sebagaimana diketahui, kata Herman, Kota Bandung saat ini berada di zona merah Covid-19. Apabila ini terus berlanjut dalam waktu yang lama, maka ia memprediksi roda ekonomi akan berhenti.

“Jadi kalau itu berlanjut terus berarti ekonomi ini pun akan berhenti di situ, gak jalan-jalan. Satu sisi kebijakan pemerintah itu masih bisa kita terima, agar menahan laju percepatan Covid-19 ini,” ungkapnya.

Herman yang juga merupakan Wakil Ketua Harian Pemulihan Ekonomi Daerah mengatakan, perlu adanya pertimbangan kebijakan yang berkaitan dengan pergerakan ekonomi. Tak hanya itu, yang terpenting adalah perlu adanya kedisiplinan dari setiap aspek yang terlibat.

“Tentu semua sektor baik pengusaha, masyarakat yang berkunjung, aparat, haru disiplin. Kalau itu kita jaga, sampai saat ini belum ada klaster hotel dan restoran,” tuturnya.

Dia membeberkan, adanya pembatasan bagi hotel dan restoran, khususnya di Kota Bandung juga dikhawatirkan mampu menimbulkan permasalaahan baru, seperti pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi beberapa waktu lalu akibat pandemi covid-19.

Tinggalkan Balasan