Marak Pelanggaran di Masa Tenang

Secara jumlah, SDM pengawas pemilu itu sangat minim. Sebagai contoh, di kecamatan saja jumlahnya hanya tiga orang. Di tingkat kelurahan, jumlahnya cuma satu orang. “Bayangkan bagaimana satu orang bisa mengcover wilayah se-kelurahan. Jadi ada kesulitan,” imbuhnya.

Memang aparat panwas bisa berkoordinasi dengan personel instansi lain seperti kepolisian. Namun tetap saja, pengawasan tersebut bukan tugas utama polisi. Tanggung jawabnya tetap kepada personel panwas di lapangan.

“SDM panwas itu terbatas. Tentu misalnya kepolisian bisa men-support, tapi itu bukan tugas utama mereka. Bebannya tetap di Panwas,” katanya

Itu juga yang membuat dia merasa pesimis walau Bawaslu membuat program patroli antipolitik uang. Justru baginya yang harus didorong adalah keterlibatan dari peserta pemilu dan masyarakat pemilih.

Di satu sisi kandidat dan tim suksesnya dipastikan memiliki kesadaran untuk tidak menggunakan cara yang melanggar hukum. Di sisi lain, masyarakat juga harus sadar untuk tidak mau menerima politik uang.

“Kerap justru masyarakat yang sulit. Karena praktik seperti ini marak terjadi. Masyarakat permisif. Dia bilang toh kan belum tentu dipilih. Jadi ambil saja. Yang seperti ini juga masalah karena transaksi tetap terjadi. Ini kurang baik. Mestinya tak menerima sejak awal,” bebernya.

Satu hal yang potensial menjanjikan ke depan, kata dia, adalah upaya pengawas pemilu membangun jejaring yang melibatkan publik dalam pengawasan.

“Yang penting bagaimana mereka bisa melibatkan publik. Saya dengar Bawaslu sedang bangun jejaring sukarelawan wilayah, Itu salah satu yang bisa menambah kekuatan. Soal efektivitasnya, ya dicoba saja dulu,” tandasnya. (mg1/drx)

Tinggalkan Balasan