Di antaranya, biaya jasa pelayanan sumber daya manusia yang terdiri atas jasa dokter, mikrobiologi klinik, ekstraksi, hingga pengambilan sampel. Kemudian, komponen bahan habis pakai, misalnya APD level III, reagen ekstraksi dan PCR, overheat pemakaian listrik, air, maintenance, hingga pengelolaan limbah. Terakhir, biaya administrasi dan pengiriman hasil.
’’Karena itulah ditentukan harga tertinggi swab Rp 900 ribu dengan RT PCR-nya,’’ paparnya.
Sayang, penetapan tersebut tak disertai dengan standardisasi pelayanan. Baik soal pengambilan spesimen maupun waktu PCR. Kadir berkilah, penentuan harga tertinggi itu tidak berkaitan dengan cepat lambatnya pemeriksaan.
Sebab, pada hakikatnya, hasil tes bisa keluar dengan cepat. Namun, perlu disadari, keterlambatan kadang terjadi karena jumlah sampel yang masuk cukup banyak. Padahal, kemampuan mesin dalam sekali running itu terbatas.
’’Jadi, nggak bisa juga kita menetapkan maksimal 1–2 jam hasil tes sudah keluar,’’ ungkap dokter spesialis telinga, hidung, dan tenggorok (THT) tersebut.
Penetapan itu akan ditindaklanjuti dengan surat edaran (SE) resmi. Rencananya, SE dikeluarkan pekan depan. ’’Penetapan harga tertinggi berlaku setelah SE diterbitkan,’’ paparnya.
Untuk pengawasan di lapangan, pihaknya bakal menugaskan dinas kesehatan setempat. Sebab, laboratorium pemeriksaan berada di bawah naungan dinas kesehatan.
Bagaimana jika masih ada yang mematok tarif di atas Rp 900 ribu? Kadir mengatakan, pihaknya akan memberikan teguran keras. ’’Tapi, harapannya tidak ada sanksi ya. Semua pihak bisa dengan sadar menerapkan,’’ ungkapnya.
Dia juga menerangkan, penetapan harga itu bakal dievaluasi secara berkala. Perubahan harga pada komponen penentu akan dijadikan bahan pertimbangan. (jpc/drx)