Maka fakta tidak lagi penting. Yang terpenting adalah persepsi. Dan selama empat hari konvensi Partai Republik itu Biden terus-menerus dipersepsikan dekat dengan demo, kerusuhan, penjarahan dan yang serba ketidaktertibkan.
Itu dilanjutkan lagi dengan kampanye lebih memojokkan Biden: apakah orang yang seperti itu bisa membangun ekonomi? Maka Trump muncul sebagai lebih mampu membangun ekonomi.
Biden memang sempat menangkis dengan fakta. Bahwa ketidaktertiban itu justru terjadi di zaman pemerintahan Trump. Tapi, sekali lagi, fakta tidak penting.
Yang muncul kuat adalah: kerusuhan itu dilakukan oleh orang yang anti-Trump. Tidak laku lagi logika bahwa yang anti-Trump belum tentu pro Biden.
Yang jelas kubu Trump berhasil mengkampanyekan kesan: mereka yang rusuh-rusuh itu adalah pendukung Biden.
Misi mulia demo itu untuk memperjuangkan kesetaraan ras menjadi tenggelam sangat dalam.
Biden menjadi dalam bahaya. Selama berbulan-bulan Biden unggul 9 persen dari Trump. Setelah konvensi ini keunggulan Biden tinggal 6 persen. Di negara bagian yang mengambang seperti Michigan bahkan tinggal 4 persen. Di Minnesota bahkan sudah imbang.
Maka tokoh anti-Trump seperti sutradara Michael Moore memberi peringatan dini. Kejadian tahun 2016 bisa terulang. Waktu itu Hillary Clinton selalu menang di survei. Bahkan betul-betul menang secara suara –menang 2,8 juta suara. Tapi Hillary kalah karena negara bagian mengambang seperti Michigan dan Minnesota dimenangkan Trump.
Moore termasuk yang sudah memperkirakan kekalahan Hillary waktu itu. Dan kini Moore kembali mengingatkan: jangan sampai Trump menang lagi.
Pendukung Biden memang dikenal lebih rajin mengisi survei daripada datang ke TPS.
Kini Biden agak mati angin. Apalagi kerusuhan masih terus terjadi. Kelompok Trump bisa terus memperkuat kesan bahwa Biden identik dengan kerusuhan.
Trump kelihatannya tidak perlu menciptakan kerusuhan perang dengan Tiongkok. Ia sudah mendapat isu besar berupa kerusuhan di dalam negerinya sendiri. (Dahlan Iskan)