Perjalanan Kurnia Widodo menjadi seorang teroris dimulai dari bangku SMA lantaran masuk kelompok radikalisme di Bandar Lampung dan tergabung di NII. Mantan Narapidana terorisme Cibiru 2010 itu, merupakan alumni Teknik Kimia ITB Bandung. Bagaimana perjuangan Kurnia menemukan jalan lurusnya? Simak ceritanya.
Laporan Yully Yulianti, Kabupaten Bandung
Aksi nekatnya yang membuat namanya diperbincangkan saat Kurnia terlibat terorisme di Cibiru tahun 2010 silam. Saat itu, Kurnia diajak oleh Ustad Abb dan Ustad Aman Abdurrahman di Masjid Assunah Cileunyi untuk melakukan aksi “jihad” dengan merencakan pengeboman. Namun rencana aksinya tersebut gagal lantaran berhasil tertangkap dan dijebloskan ke penjara tepatnya di Lapas Nusa Kambangan. Dalam perjalanannya selama di lapas, Kurnia akhirnya kembali ke pangkuan NKRI dan mengajukan Pembebasan Bersyarat (PB) setelah bertemu dengan salah satu ustad.
Saat ini, Kurnia menjadi Ketua Yayasan Ge GGAM perdamaian yang anggotanya mantan-mantan narapidana teroris dengan jumlah 20 orang.
Kurnia mengaku, awal mula bergabung kelompok radikalisme, yaitu pada masa dirinya berada di tingkat SMA. Kelompok ini menganggap negara kafir dan ingin mendirikan negara Islam. Kemudian, berlanjut hingga dirinya terkena kasus yaitu pada tahun 2010, dimana ada kolaborasi dari kelompok radikalisme yang ingin membuat basis militer yang ada di Aceh. Namun, terendus oleh aparat sehingga terjadi penangkapan dengan tembak menembak.
“Anggota asal Bandung yang tadinya akan berangkat ke sana, otomatis tidak jadi berangkat. Akhirnya, bergerak sendiri – sendiri. Kita menyasar, menembak polisi kemudian juga berniat mengebom markas polisi. Karena, polisi itu kita anggap sebagai penolong daripada sistem kekafiran ini. Bahkan, kita menghalalkan darah aparat baik TNI, Polisi maupun aparat yang menyokong negara,” kata Kurnia saat kegiatan Safari Kamtibmas Kapolresta Bandung, di GOR Bojongsoang, Senin (10/8).
Kurnia menambahkan, pada tahun 2010, rencana pengeboman di Cibiru gagal lantaran tertangkap oleh polisi, sehingga divonis penjara selama enam tahun di Nusa Kambangan.
Dari dalam lapas tersebut, dirinya bisa berubah secara perlahan. Karena, sering melakukan sosialisasi dengan sipir-sipir penjara ditambah rutin membaca buku “istilahnya moderat” bagi kelompoknya.