PPDB Menyisakan Masalah, Dewan Minta Disdik Perbaiki Kualitas Pendidikan

“Kalau sudah setara, pasti sudah tidak ada lagi kekecewaan karena tidak diterima di sekolah favorit. Sebab semua sekolah nanti jadi sekolah favorit. Kalau sudah begitu, paling tidak kita sudah berhasil mengatasi salah satu kekurangan kita agar kualitas pendidikan di kita bisa terus lebih baik,” terangnya.

Sementara, pendidikan dimasa pandemi menjadi PR (pekerjaan rumah) berat bagi pemerintah. Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) secara daring terus berbuntut panjang pada tahun ajaran baru 2020-2021. Sebab, peserta didik tidak boleh bertatap muka di kelas.

Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) menjadi satu-satunya solusi yang diambil pemerintah demi memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Namun, efektifkah PJJ ini? Bagaimana sarana-prasaranya? Siapkah gurunya? Akankah dunia pendidikan Indonesia pasca pandemi akan seperti ini?.

Ya itulah kegundahan yang dirasakan Wakil Ketua Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Barat, Abdul Hadi Wijaya. Baginya, PJJ ini menimbulkan kekhawatiran di masyarakat. Terlebih, kurikulum Indonesia dibangun berdasarkan azaz tatap muka bukan daring.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pun bercerita. Kendala beberapa sekolah saat dirinya melakukan kunjungan kerja ke Kabupaten Garut, tepatnya di Garut Selatan beberapa waktu lalu.

“Saat menggelar KBM secara daring. Dari 300 siswa yang dimiliki sekolah tersebut. Hanya 30-40 siswa saja yang hadir. Belajar dengan daring ini dinilai tidak efektif,” ujar Gus Ahad–sapaan akrabnya.

Terpisah, Kepala Dinas Pendidik (Disdik) Jawa Barat (Jabar), Dedi Sopiandi mengatakan, PPDB tahun ajaran 2020-2021 mengalami perbedaan dari sisi kuota. Sebab, dari 381.000 pendaftar yang lulus sekitar 245.000 peserta dari kuota 283.000. “Jika dilihat antara perbedaan pendaftar itu banyak melebihi dari kuota. Tetapi yang diterima itu di bawah kuota,” ucap Dedi sebelumnya.

Dikatakan Dedi, hampir seluruh pendaftar dengan pola daring dan pola online. Sehingga yang tertuju ke satu titik. Tidak ada komunikasi. Sehingga mengakibatkan informasi tidak berjalan dengan baik.

“Jadi dia tidak ada komunikasi, tidak ada saling memberikan informasi sehingga tertuju pada salah satu sekolah saja yang diinginkan mereka,” katanya.

“Di sini ada beberapa sekolah yang kosong, dari yang terendah. Saya lihat tidak mencapai kuota. Bahkan saya lihat yang tidak mencapai kuota hampir mencapai kuota di 57 persen,” imbuhnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan