Klaster Ketenagakerjaan Sebaiknya Dicabut dari Omnibus

Pasal 88 RUU Omnibus telah mengubah dan menghapus atau menetapkan peraturan baru, beberapa ketentuan yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan, UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan UU Penyelengara Jaminan Sosial. Beberapa hal yang menjadi catatan krusial adalah :

Pertama, perubahan dan pencabutan pasal-pasal terkait Tenaga Kerja Asing (TKA), dalam RUU Onibus tidak lagi dikenal izin mempekerjakan tenaga kerja asing (IMTA).

Faktanya ada izin sekalipun tetap saja terjadi penyelundupan hukum, karena banyak tenaga kerja asing yang bukan mendasarkan keahlian masuk ke Indonesia. Apalagi perizinan IMTA dihilangkan, maka semakin dikhawatirkan akan terjadi secara massif dan menghilangkan kesempatan rakyat untuk mendapatkan pekerjaan.

Padahal jika memperhatikan secara komprehensif terkait pola perizinan dalam RUU Omnibus, adalah pergeseran dari kementerian dan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat, penyederhanan dan perubahan nomenklatur berbagai macam perizinan menjadi perizinan berusaha, tetapi terkait dengan TKA dihilangkan.

Pembukaan UUD 1945 sesungguhnya mengisyaratkan, bahwa negara hukum Indonesia tidak hanya meletakan pemerintah sekadar menjaga ketertiban dan keamanan (rust en orde), tetapi juga mengupayakan kesejahteraan umum (bestuurszorg).

Sehingga IMTA ini menjadi penting, terlepas terjadi perubahan nomenklatur, karena izin (vergunning) TKA harus disyaratkan untuk perbuatan yang pada umumnya memerlukan pengawasan khusus, yang merupakan bentuk pelaksanaan fungsi pengaturan dan bersifat pengendalian.

Padahal beberapa pasal-pasal dalam UU Ketenagakerjaan (UU Naker) cukup signifikan melakukan pengawasan terhadap TKA maupun pemberi kerja, misalnya Pasal 43 terkait persyaratan TKA, Pasal 44 tekait dengan jabatan dan standar TKA, dan Pasal 46 terkait dengan jabatan personalia dan jabatan-jabatan tertentu bagi TKA, namun pegaturan tersebut sudah dicabut oleh RUU Omnibus.

Kedua, hilangnya perlindungan dan kepastian hukum bagi status kedudukan buruh. Sebab, dalam Pasal 56,57 dan 58 telah menjustifikasi hubungan kontraktual antara perusahaan dan buruh.

Semua jenis pekerjaan boleh menggunakan buruh kontrak (PKWT) tanpa ada batasan waktu yang didasarkan pada kesepakatan para pihak. Pembatasan terhadap PKWT yang diatur dalam Pasal 59 UU Naker telah dihapus yaitu a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan