Saat istri saya masih lelap itu, saya mengajar jurnalistik. Jarak jauh. Untuk 13 mahasiswa tingkat akhir yang ingin jadi wartawan.
Saya pun sibuk memeriksa kiriman-kiriman WA mereka. Pukul 04.00 saya pindah ke beberapa urusan pribadi.
Lalu minum air hangat. Sebanyak setengah liter. Itu harus saya lakukan sebelum minum obat wajib: immunosuppression 1 mg.
Itulah obat untuk menurunkan imunitas saya. Agar hati orang lain yang saya pakai sekarang ini bisa kerasan di tubuh saya.
Setelah minum obat saya banyak membaca. Apa saja. Lewat ponsel.
Satu jam kemudian saya minum lagi air putih: hangat. Setengah liter lagi. Untuk obat kedua: baraclude. Yang terkait dengan kesehatan lever.
Berarti pada pukul 05.30 saya sudah minum air-putih-hangat sebanyak satu liter.
Sambil terus main ponsel saya makan satu buah pisang. Lalu satu mangkok kecil oatmeal –tanpa gula, tanpa susu, tanpa garam, tanpa apa pun.
Ups… ada! Ada dua telur ayam di dalamnya –diaduk ketika oatmeal mau diangkat dari kompor.
Istri saya tidak mau kalah. pukul 04.00 sudah di dapur.
Dia bahimat kalau masak. Biar pun kami hanya 4 orang (saya, istri, Kang Sahidin, dan Pak Man) rasanya dia seperti menyiapkan makan untuk 40 orang.
Tidak ada pembantu wanita di rumah. Istri saya terlalu jagoan untuk urusan dapur, taman, dan rumah.
Pukul 06.00 kurang lima menit saya berangkat ke tempat senam. Bersama istri.
Sejak sebulan lalu kami sudah membuat peraturan ketat di grup senam kami: tidak usah saling salaman.
Dan sejak 10 hari lalu aturan itu ditingkatkan: senamnya harus saling jaga-jarak-aman-Corona. Saat foto bersama pun harus berjauhan.
Kami juga mengikuti saran dokter: cari tempat senam yang ada terik mataharinya. Untuk memperoleh tambahan vitamin D. Agar bisa menambah imunitas.
Kadang, sambil ”berjemur” itu saya tersenyum sendiri: tadi pagi saya minum obat penurun imunitas, kok sekarang ingin menambah imunitas.
Senam itu nonstop. Selama satu jam penuh. Tiap hari –kecuali Senin. Senamnya senam dansa. Lagunya campuran. Barat, Mandarin, dangdut, India, Latino –semua ada.