Kota ini di tengah Gurun Gobi. Jaraknya empat jam dari kota di baratnya. Juga empat jam dari kota di timurnya.
Kota yang di barat itu, dan yang di timur itu, juga masih di tengah gurun.
Nama kota ini: Kelamayi.
Itulah kota yang lahir karena ada gula.
Di tengah padang pasir pun ada kota-kota kecil di beberapa lokasi. Hukum alamnya: di mana ada kota di situ pasti ada air.
Para pengembara gurun biasa istirahat di sumber air. Lama-lama jadi kampung. Lalu jadi kota.
Berarti lebih dulu ada sumber air. Baru lahirlah kota. Atau desa. Kalau desanya kecil berarti sumber airnya kecil.
Dari situlah muncul pameo: air adalah sumber kehidupan.
Kelamayi beda.
Tidak ada sumber air di Kelamayi. Sama sekali. Sungai terdekat pun jauh. Hampir 400 km di utara kota itu.
Kelamayi lahir bukan karena air. Tapi karena gula. Di situ ditemukan sumber minyak. Di tahun 1956.
Tahun-tahun itu komunis Rusia masih sohib komunis Tiongkok. Lagi mesra-mesranya. Tiongkok belum dituduh sebagai penganut aliran sesat komunisme.
Ahli-ahli Rusia-lah yang menemukan minyak di Kelamayi itu. Lalu menggali sumur minyak di situ. Kian tahun kian diketahui: banyak minyak mentah di bawah tanah Xinjiang.
Industri pengilangan pun lahir. Belakangan ini. Disusul industri kimia. Bahkan minyak mentah dari negara sebelah dikirim ke Kelamayi. Tiongkok membangun pipa bawah tanah sejauh 1.000 km. Dari Kazakhstan ke Kelamayi.
Kota Kelamayi pun kian besar. Menjadi kota modern. Inilah kota baru di Xinjiang. Yang tidak ada akar suku Uygur-nya. Orang Uygur pun menjadi pendatang di kota Kelamayi.
Bagaimana dengan keperluan air penduduknya?
Tidak ada jalan lain: harus mendatangkan dari sungai yang jauh itu. Pipa besar digelar di bawah gurun. Sejauh 300 km lebih. Sampai ke lokasi pengolahan di luar kota Kelamayi.
Saya jadi ingat pemimpin Libya, Kolonel Muammar Gaddafi. Yang membangun ‘sungai’ di bawah gurun pasir Sahara. Sejauh 400 km. Dari sebuah sungai di wilayah selatan. Ke ibukota Libya Tripoli.