JAKARTA – Komisi Pemilihan Umum (KPU) memastikan kabar beredarnya server KPU di luar negeri yang dibobol adalah berita hoaks. KPU juga mengatakan, jika seluruh server berada di dalam negeri. Tidak ada server KPU yang di luar negeri.
Komisioner KPU HAsyim Ashari mengatakan, adanya server di dalam begeri dikarenakan bisa dijaga bersama-sama. Kemudian ada juga beredarnya kabar sistem KPU sudah di setting memenangi calon presiden tertentu. Bahkan sudah dipastikan jumlah prosentasenya. Hasyim menampik hal tersebut.
Kata Hasyim, pada dasarnya proses perhitungan suara dilakukan secara manual mulai dari TPS sampai tingkat nasional. Jadi mulai dari perhitungan suara di TPS, kemudian dilakukan dan dituangkan pertama kali dalam formulis c1 besar yang plano.
Setelah form c1 plano, kemudian siapapun diberi kesempatan untuk mendokumentasikan. Baik melalui video maupun foto. Siapapun boleh, tidak hanya saksi dan panwas.Tetapi untuk yang ada didalam TPS itu hanya panwas pemantau.
Kemudian dari c1 plano ini kemudian disalin ke c1 yang bentuk atau ukurannya quarto. Dari sini kemudian dipakai untuk membuat salinan yang akan disampaikan pada masing-masing saksi pada panwas tps. Kemudian yang akan discan pada KPU kabupaten/kota dan diunggah di website KPU, bebernya di Jakarta, Kamis (4/4).
Menurutnya, sistem tersebut bukan pertama kali dipraktekan. Tapi sudah sejak Pemilu 2012 dan Pemilu 2014. Dengan iunggahnya data tersebut, masyarakat bisa mengetahui seberapa besar suara yang ada di satu TPS.
Beredarnya berita bohong tersebut dinilai bisa membahayakan kepercayaan publik pada proses penyelenggaraan publik terutama proses pemungutan dan perhitungan suara. KPU akan melaporkannya ke Bareskrim Mabes Polri.
Hasyim menegaskan, kegiatan pemungutan suara, penghitungan suara tidak dilakukan secara tersembunyi. Jika pihak penyelenggara yang memanipulasi, Hasyim menegaskan tidak mungkin. Jadi kalau memang mau manipulasi, harus berjamaah manipulasinya. Bersepakat untuk manipulasi, tapi apakah mungkin? Nggak mungkin karena peserta pemilu partai politik ada 16, katanya.
Terpisah, pengamat politik Emrus Sihombing mengatakan, isu tersebut tidak jauh berbeda dengan isu tujuh container pada awal Januari lalu. Menurutnya, jika ada fakta pendukung, penyebar sebaiknya melengkapi dengan data. Sehingga bisa timbul dipanggil ke permukaan. Begitu juga jika berbasis data, seharusnya dibuat diskusi public.