Nasionalisme Atraktif

Kami yang di Pakistan bisa melihat juga atraksi mereka.

Mereka yang di sisi India bisa juga melihat atraksi Pakistan.

Di atas aspal itu terlihat orang menggendong kendang. Ditabuh dengan alat pemukul. Dengan pakaian berlambang Pakistan. Di sisi India juga sama. Dengan pakaian berlambang India.

Ada juga pengomando yel-yel. Dengan pakaian yang sama. Suara orang ini keras sekali. Dalam bahasa Urdu di sini. Dengan bahasa Urdu di sana.

Saya jadi ingat stadion sepakbola. Ada kepala supporter. Yang selalu menghadap penonton. Memberi komando. Kapan harus menyanyi dan lagunya apa. Tidak pernah bisa nonton pertandingan itu sendiri.

Juru komando itulah yang terus berteriak minta agar penonton semangat. Harus sering mengepalkan tangan ke atas. Sambil teriak. Menyambut yel-yel. Tidak boleh penonton hanya sedekap tangan. Jangan seperti penonton pasif. Jadilah supporter. Harus sering teriak dan bertepuk tangan.

Jangan sampai kalah semangat dengan penonton yang di sisi India. Malu.

“Pakistaaaaan….!!!” teriak komando itu.

“Zindabaaaad…!!!,” sahut penonton serentak.

Penonton yang tidak menyahut diingatkan. Harus semangat. Tidak boleh kalah. Malu.

“Pakistaaaaaaaaaaaan…..!!!!!” teriak komando lebih keras.

“Zindabaaaaaaaaaaaaadddd!!!!!,” sahut penonton. Lebih kompak.

Maksudnya: Hidup Pakistan!

Di sisi India juga begitu. Bersahut-sahutan. Adu teriak. Adu semangat. Rebutan langit.

Kadang teriakan itu diganti dengan Allahu Akbar. Entahlah. Apakah ada teriakan sejenis Allahu Akbar juga di sisi India.

Yang bersaing bukan hanya mulut. Juga tiang bendera utama. Adu tinggi-tinggian. Bendera Pakistan menang: lebih tinggi. Tertinggi di Asia Selatan.

India menang di model tribunnya. Lebih besar. Lebih megah.

Juga adu banyak-banyakan bendera. Adu atribut. Adu dandan cantik. Saya membeli topi Pakistan. Yang ada identitas perbatasannya.

Saya juga melihat penonton wanitanya adu cantik. Mereka berebut foto seusai acara.

Ada juga pengantin. Yang datang dari jauh. Dari Kashmir. Lima jam perjalanan. Pengantin wanitanya tuli. Pengantin prianya bisu.

Tapi emosi mereka bicara. Wajah mereka terhibur.

Kalau suporter Bonek boleh punya tribun sendiri di sini merekalah yang menang. Atau suporter Viking. Bisa lebih kreatif. Bisa perang lagu.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan