ANAK-ANAK SMA kumpul. Sabtu lalu. Di pendopo Kabupaten Ngawi. Sekitar 300 orang. Dari berbagai kecamatan. Termasuk kecamatan pelosok seperti Sine dan Ngrambe. Saya bertanya pada mereka: siapa yang bapaknya menanam jagung.
Empat anak unjuk tangan. Saya minta mereka naik panggung. Bersama saya. Saya tanya lagi: berapa harga jagung saat ini. Empat-empatnya bisa menjawab. Dengan harga berbeda-beda. Kian ke pelosok kian murah harganya. Hanya Rp3.000/kg.
Saya tanya lagi: berapa harga jagung dua bulan yang lalu. Khususnya bulan Nopember dan Desember. Mereka juga tahu. Tinggi sekali. Sampai Rp6.000/kg. Pertanyaan berikutnya: mengapa jagung mereka tidak bisa dipanen pada saat harga lagi tinggi-tingginya.
Juga bisa menjawab. “Karena baru bisa tanam di bulan Oktober. Saat sudah ada hujan. Jadi baru bisa panen di bulan Maret nanti,” katanya. Empat anak SMA itu saya minta mencari ide. Agar bapaknya bisa panen jagung di bulan Nopember atau Desember.
Saya minta empat siswa itu berunding. Di bawah pohon rindang. Di halaman sebelah pendopo bupati. Yang bisa kami lihat dari pendopo. Mereka duduk di atas rumput. Melingkar. Berdiskusi. Hasil rundingan itu akan dipresentasikan. Di depan teman mereka. Di pendopo ini. Menjelang akhir acara nanti.
Siswa lain tetap di pendopo. Untuk sharing DI’s Way. Yang temanya klise: mempersiapkan generasi milenial. Saya coba lemparkan pertanyaan lain: siapa yang tahu apa itu 5G. Dua orang unjuk tangan. Saya minta keduanya naik panggung. Jawaban keduanya sangat bagus. Akurat. Kekinian.
Dari mana mereka tahu semua itu? “Dari youtube,” kata mereka. “Kami sering lihat youtube. Cara menjelaskannya,” tambahnya. Dibanding dengan cara sebagian guru mereka mengajar.
Memang banyak guru yang membosankan siswa. Itulah tantangan guru ke depan: bersaing dengan guru dari negara youtube. Juga bersaing dengan guru yang bukan manusia. Saya pun melontarkan satu istilah: AI. “Siapa yang tahu apa itu AI,” tanya saya. “Hadiahnya salaman dengan pak Wakil Bupati dan Mas Tommy Cahyo Gutomo,” tambah saya.