Hutan di Cireundeu itu disebut hutan larangan. Artinya, siapa saja yang menebang pohon harus menggantinya dengan tanaman yang baru.
“Tidak ada lahan adat. Yang ada hanyalah balai adat. Tanah di Cireundeu dilengkapi surat tanah dan bayar pajak,” terang Abah Widia sambil kembali mengambil rokok.
Yang menuju Kampung Cireundeu pasti akan melewati jalan bukit yang di beberapa sisinya tampak tanaman singkong. Untuk mengolahnya menjadi tepung siap olah, dibutuhkan waktu seminggu. “Yang kami makan ampasnya,” kata Sopiah.
Tidak ada larangan warga adat Cireundeu untuk beralih dari makan beras singkong ke beras nasi. Sebagaimana juga tidak ada larangan warga adat Cireundeu untuk menikah dengan orang luar adat.
Harmoni itu juga berlaku untuk urusan kepercayaan. Para pendatang yang mayoritas muslim hidup rukun bersanding dengan warga adat yang merupakan penghayat Sunda Wiwitan.
Dari sisi kesehatan, menurut Abah Widia, mengonsumsi beras singkong justru lebih sehat. Pasalnya, kandungan gula dalam singkong lebih rendah daripada beras nasi.
Berdasar pedoman gizi seimbang yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan, setiap 100 gram nasi mengandung 175 kalori, 4 gram protein, dan 40 gram karbohidrat. Sedangkan setiap 100 gram singkong mengandung 112 kalori, 1,5 gram protein, dan 38 gram karbohidrat.
Singkong cocok untuk pengganti nasi beras karena 230 gram singkong mengandung 78 gram karbohidrat total. Jika setiap 1 gram karbohidrat mengandung 4 kalori, itu setara dengan 312 kalori atau 95 persen kebutuhan karbohidrat harian.
Karena itulah, Neneng Suminar tak pernah sekali pun merasa membutuhkan nasi beras. Meski tak ada aturan yang mengharuskan perempuan 37 tahun tersebut untuk tetap mengonsumsi nasi singkong. “Dari hati aja, mau meneruskan adat orang tua,” tutur warga Cireundeu itu. (jp)
CAPTION: Warga Cireundeu Bertahan tanpa Mengonsumsi Nasi dari Beras. Warga sedang mengolah singkong menjadi berbagai jenis makanan di Balai Adat. (Anisatul Umah/Jawa Pos)