Bahasa Ibu sebagai Gerbang Kebudayaan

Banyak masyarakat adat dan ahli bahasa yang bekerja untuk menghentikan kecenderungan  ini, yang mengancam untuk mengurangi warisan dunia budaya dan bahasa. Banyak sejarah masyarakat dan budaya yang terkandung dalam bahasanya. Kehilangan bahasa berarti kehilangan juga kekayaan budaya, seni, dan pengetahuan.

Banyak bahasa di dunia juga menjadi sumber daya yang unik untuk mempelajari bagaimana manusia tersebar di seluruh bumi. Banyak dari apa yang diketahui tentang sejarah manusia berasal dari studi bahasa.

Jumlah yang tepat dari bahasa terancam punah di seluruh dunia sulit untuk dipastikan, terutama karena perbedaan antara bahasa dan dialek yang terpisah tidak selalu jelas. Menentukan apakah ucapan sekelompok orang adalah dialek bahasa, atau telah berubah cukup untuk dianggap sebagai bahasa yang berbeda, adalah masalah konvensi sama seperti linguistik.

Namun fakta lain menunjukkan, globalisasi dan tiadanya perhatian pemerintah dalam pendidikan bahasa lokal juga merupakan salah satu faktor  “pembunuh” bahasa lokal. Di sini bahasa ternyata terkotak-kotak pada gengsi pelakunya. Bahasa Inggris misalnya, menurut penelitian Balai Bahasa Jawa Barat (Kemendikbud) berada pada  urutan gengsi teratas. Kedua bahasa nasional (Indonesia) dan ketiga bahasa daerah.

Gengsi yang ada pada bahasa Inggris tinggi karena bahasa tersebut telah dipakai oleh orang di hampir seluruh dunia. Di samping itu, bahasa Inggris telah menjadi “pintu gerbang ekonomi.” Pada pelaku bahasa yang sama, bahasa Indonesia menduduki urutan gengsi kedua, karena penggunaannya terbatas pada skala nasional dan terakhir bahasa daerah berada pada urutan ketiga. Jenis bahasa pada urutan gengsi ketiga inilah yang sangat menderita. Bahasa daerah dicampakkan karena dianggap “orang-orang desa” saja yang masih menggunakan bahasa lokal. Bahasa Cerbon merupakan salah satu bahasa yang dianggap tengah menuju “ambang kematian”,jika tidak segera diatasi dengan baik.

Gerbang kebudayaan

Di masa depan, tiga bahasa daerah di Jawa Barat, Sunda, Cerbon dan Melayu Betawi harus menajdi régol atau ‘gerbang’ untuk pintu masuk siapa saja yang akan belajar kebudayaan, filsafat, teknologi, seni dan lainnya. Oleh karena itu bahasa tersebut harus memiliki “masa depan” untuk dapat diakses seluruh masyarakat di seluruh Indonesia. Untuk membaca karya-karya klasik Pangeran Wangsakerta (1680-an), misalnya, para peminat sastra harus lebih dahulu memelajari bahasa Cirebon (kuno), begitu juga untuk memelajari teks-teks keagamaan klasik, seni rupa, teknologi lokal, batik, kesenian dan lainnya bahasa daerah harus dikuasai. Ini penting, karena jika syarat-syarat penguasaan bahasa tidak dilakukan, usaha itu dipastikan bakal menemui kegagalan.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan