Karena konsep figur itulah pengunjung pun diajak berperan langsung mengenakan pakaian adat Sunda. Seperti laki-laki menggunakan pangsi hitam dan totopong (ikat kepala), sementara perempuan menggunakan kebaya. Semua property itu sudah disediakan di Sapatapaan.
Bagi dia, Sapatapaan merupakan sebuah ruang berkreasi, sebuah tempat yang mengandung elemen kearifan lokal Sunda yang sangat kuat.
”Pemilik area membuat konsep sharing economic dengan komunitas fotografi dan komunitas seni budaya lainya. Di sini penggiat foto mengambil inisiatif untuk mengolahnya menjadi sebuah destinasi wisata berbasis budaya Sunda. Dimana pengunjung tidak hanya main dan makan, tapi di bawa imajinasinya menjadi figur-figur urang Sunda lewat bingkai foto,” sebutnya.
Konsep ini sejalan dengan sang inisiator sekaligus pemilik lokasi Sapatapaan, Wasman, dia menyebutkan dirinya ingin membuat sebuah tempat wisata yang berbasis ekowisata. Hal itu beralasan karena secara topografi memang kawasan Citengah sangat menjanjikan dengan pesona alamnya yang masih alami. Tak hanya sekadar konsep, Wasman pun merangkul sejumlah komunitas yang ada di Sumedang.
”Dimana komunitas-komunitas itu mempunyai missi untuk membuat simpul-simpul pemberdayaan yang berdasarkan pengembangan seni budaya, tradisi dan lingkungan. Dan, jadilah Komunitas Sapatapaan,” jelasnya.
Setelah itu mereka pun menggunakan konsep pariwisata berbasis komunitas, untuk mengolah Pariwisata yang ada di kawasan itu. Di mana anggota komunitas, masyarakat, dan pemerintah bersinergi dan terlibat dalam pengembangan dan pengelolaannya.
”Jadi kita semua terlibat aktif di dalam pengelolaan Pariwisata ini. Nah, Sapatapaan itu sendiri lahir, karena kepedulian, lahir dari sebuah kebersamaan untuk membangun desa, membangun wilayah dengan memanfaatkan potensi setempat. Terutama potensi alamnya, begitu,” ujar dia.
”Kami di sini ada karena kepedulian, kami disini ada karena memang ingin memberdayakan masyarkat setempat tanpa ada tendensi apa pun,” pungkasnya. (*)