Ketiga recharge dan reposition guru dan tenaga kependidikan lainnya (kepsek, pengawas dan tenaga administrative). Keempat menyusun kembali standar tunjanggan kesejahteraan pendidikan secara adil dan merata; dan kelima memposisikan nilai-nilai lokal sebagai andalan keunggulan dan pembeda dengan sentuhan ”juara”.
Pertama, mengoreksi kapasitas dan kualitas personil pimpinan Organisasi Perangkat Daerah yang menangani pendidikan yang harus professional dan clear, merujuk pada kenyataan bahwa pendidikan adalah fondasi bagi pembangunan peradaban suatu bangsa oleh karena itu personil yang diberi amanah memimpin organisasi yang mengurus masalah pendidikan ini harus orang yang paham hal ihwal pendidikan dan memiliki pengalaman dalam praktik-praktik penyelenggaraan pendidikan sebagai pelaku utamanya.
Selain itu dia pun harus bersih ”clear” dari berbagai kepentingan baik pribadi, kelompok ataupun golongan. Pemimpin pendidikan haruslah seorang profesional yang loyalitas pengabdiannya semata-mata untuk membangun peradaban masa depan bangsa yang lebih baik.
Kedua, mengoreksi manajemen penyelenggaraan pendidikan yang seharusnya menyuguhkan konsep Staffing, Planning, Organizing, Actuating dan Controling (SPOAC) secara professional dan memprioritaskan ketercapaian tujuan pendidikan nasional. Dengan komitmen memajukan peradaban bangsa yang lebih baik, manajemen pendidikan terkoreksi harus memposisikan Staff (personel) pendidikan yang sesuai dengan prinsip ”right people for the right job at the right time” melalui seleksi yang tepat, profesional dan terbuka untuk menjaga keharmonisan organisasi. Terlarang seleksi staff ini melalui berbagai pendekatan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) apapun bentuknya.
Selanjutnya aspek Planning yang sederhananya diartikan sebagai berbagai upaya yang meliputi pengaturan tujuan dan mencari cara bagaimana untuk mencapai tujuan tersebut. Bila praktek perencanaan pendidikan saat ini sekedar menggugurkan kewajiban, intuitif dan penuh pesanan yang tidak fokus pada upaya mengatasi persoalan pendidikan di Jawa Barat, sejatinya harus dipahami adanya praktek perencanaan pendidikan yang terkoreksi. Koreksi diartikan sebagai perbaikan yang menyeluruh/integral bukan parsial, secara kuantitatif maupun kualitatif dan riil.