Hingga kini, setiap kepala sekolah di Kota Bandung masih was-was. Sebab, di tengah tidak lancarnya pencairan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), sumbangan dari orangtua pun akhirnya malah menjadi bumerang. Walhasil, mereka pun kerap mencari pinjaman demi kelancaran operasional sekolah.
—
PENGELOLAAN pendidikan di Kota Bandung memang belum sepenuhnya merata. Ada sekolah yang sering mendapatkan bantuan. Sebaliknya, ada juga sekolah yang justru terkesan terlupakan pemerintah.
Begitu pun kondisinya dengan peserta didik. Batasan mengenai prinsip keadilan ini dinilai belum sepenuhnya berjalan dengan benar. Akhirnya, seperti diungkap di muka, selain sekolahnya sering dapat bantuan, muridnya pun ikut kecipratan bantuan.
Yuli Nurhayati Spd, utusan Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMP mengaku, pernah mengalami persoalan di tata kelola, khususnya prihal sumbangan orangtua siswa. Bahkan, dia nyaris terkena operasi tangkap tangan (OTT) tim Saber Pungli karena menerima sumbangan dari orangtua siswa.
Kasusnya terjadi ketika, ada kesamaan nilai sumbangan dari pihak orangtua siswa. Padahal, setiap rapat dengan orangtua murid, dia kerap mewanti nilai sumbangan itu tidak boleh sama satu dengan yang lain.
”Pada dasarnya orangtua murid itu care pada sekolah. Itu dibuktikan dengan upaya mereka memberikan sumbangan sukarela. Mereka kerap bertanya, sekolah perlu apa untuk kemajuan kegiatan belajar mengajar,” urai Yuli kepada Jabar Ekspres di Tebu Hotel, belum lama ini.
Kepala Sekolah SMP 7 tersebut mengakui, dana bantuan operasional sekolah (BOS) kerap terlambat cair. Kondisi itu banyak mendorong kepala sekolah untuk mencari dana pinjaman untuk mengantisipasi agar operasional belajar mengajar tetap berjalan. ”Itulah mengapa, orangtua kerap memberikan sumbangan. Dengan catatan, tidak ditentukan berapa nilai yang diberikan setiap orangnya,” urainya lagi.
Namun, kondisi yang terjadi di lapangan kerap berbeda. Kekompakan orangtua dalam satu kelompok atau kelas sering menjadi masalah. Karena tidak mau juga terkesan paling loyal, maka jumlah sumbangan akhirnya sama satu dengan yang lainnya.
”Misalnya, satu orang menyumbang nilai Rp 1 juta. Karena dari mulut ke mulut akhirnya malah sama semuanya (nilainya, Red). Ini repot. Kesamaan ini akhirnya dipersepsikan menjadi pungutan,” tandasnya.