”Ada yang kotak kosong menang, ada juga yang kalah. Ini sesuatu hal yang ada di dalam Pilkada, ada yang menang dan kalah. Ini sesuatu yang harus kita hargai bersama dan maknai bersama, sehingga menghasilkan hasil yang betul-betul demokratis dan tentunya melalui koridor-koridor yang demokratis. Barangkali kedepan perlu dipikirkan bagaimana masalah kotak kosong ini. Dengan cara seperti apa atau kah seperti harus yang tertuang saat ini, apakah kotak kosong itu lebih bagus. Tentu ini jadi pemikiran bersama sehingga memberikan kefaedahan bagi Indonesia,” ucapnya.
Wakil Ketua Pembina Partai Demokrat itu menjelaskan, kemenangan kolom kosong ini membuat Pilkada di daerah tersebut harus digelar ulang, dan dipastikan akan membutuhkan anggaran besar. Untuk itu, sistim yang ada ini harus ditinjau kembali demi mengefisien anggaran negara.
”Itulah yang saya sampaikan karena memberikan pembebanan kepada anggaran. Tentu ke depan kita harus memikirkan sistem. Nah itulah yang saya sampaikan karena memberikan pembebanan kepada anggaran, pembebanan keuangan pada negara tentunya ke depan kita harus memikirkan sistem apa yang harus tepat dilaksanakan, barangkali dengan hal-hal yang lebih lain, namun tetap memenuhi asas demokrasi,” jelasnya.
”Tentu idealnya kita harus melalui banyak pemikiran, karena ini pakar-pakar harus mencurahkan perhatiannya secara penuh, supaya apa yang terbaik yang kita putuskan adalah bagi bangsa dan negara ini,” sambungnya.
Sementara itu, Ketua tim pemenangan pasangan calon kepala daerah yang kalah dari kolom kosong seperti di Kota Makassar Appi-Cicu Farouk M Betta menilai, hasil hitung cepat yang dirilis oleh lembaga survei merupakan penggiringan opini publik. “Quick count itu opini. Opini yang berusaha untuk dibangun dan kita tahu sumber opininya seperti apa dan samplingnya seperti apa. Hanya saja kita tidak enak juga kalau menjelaskan itu di sini,” kata Farouk, saat di temui di posko induk Appi-Cicu, Jl A.P Pettarani Makassar.
Dia menambahkan, jika dari data real count intermnal Appi-Cicu, mereka justru unggul 52,14 persen dan kolom kosong hanya memdapatkan 47, 86 Persen. “Itu dari C1 di 2483 TPS, atau 93 persen TPS dari 2570 TPS yang ada, jadi sangat jelas jika yang memenangkan kolom kosong itu hanya sebuah penggiringan opini saja,” tegas Ketua DPD II Golkar Makassar itu.