PILGUB Jawa Barat, Juni mendatang diprediksi banyak kalangan akan panas seperti layaknya Pilgub Jakarta tahun 2017 lalu. Beberapa pihak telah secara terang-terangan berencana memindahkan suasana pilkada di DKI Jakarta ke Jawa Barat.
Haruskah begitu? Tidak cukupkah kerusakan yang diakibatkan pilkada Jakarta menghasilkan suasana permusuhan terus menerus? Patutkan hubungan silaturahmi, kekeluargaan, kekerabatan, persaudaraan, persahabatan kita rusak, hanya karena pilihan kita berbeda.
Iklim demokrasi, memang menghadirkan banyak pilihan kepada kita sebagai warga untuk memilih pemimpin yang kita sukai, berdasarkan beragam referensi yang kita miliki. Tentu, kita boleh memilih sosok pemimpin karena calon yang kita pilih itu sekedar punya tampang, atau karena memiliki rekam jejak yang baik, maupun alasan-alasan pribadi seperti karena satu agama dan keyakinan. Maupun karena berasal dari daerah yang sama.
Sah-sah saja, sebenarnya. Namanya juga demokrasi. Tidak ada yang melarang. Namun, sepertinya menarik mencermati apa yang disampaikan oleh Ridwan Kamil alias Kang Emil dalam tayangan program Indonesia Lawyer Club (ILC) di TV One pada Senin Malam, 9 Januari 2018. Kang Emil saat itu dimintakan komentarnya sebagai salah satu cagub yang akan berkompetisi dalam perhelatan pilgub Jabar tahun 2018 mendatang.
Menurut Kang Emil, terkait proses demokrasi yang sedang terjadi di Indonesia, ia meyakini sebuah cerita, bahwa setiap pemimpin ada zamannya, dan setiap zaman ada pemimpinnya, dan salah satu berkah Allah Swt kepada bangsa Indonesia adalah hadirnya demokrasi yang sekarang ini sedang kita ikuti prosesnya. Dimana pemimpin dipilih dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Kang Emil adalah contoh seorang anak bangsa yang sebelumnya tidak pernah kepikiran untuk masuk ke politik dan kemudian memimpin warga. Namun, munculah proses demokrasi langsung, dimana rakyat dan masyarakat bisa memilih pemimpinnya, secara one man one vote, yang memberikan peluang kepada orang-orang seperti Kang Emil yang sebelumnya hanya bergerak di tataran civil socierty untuk terjun ke dalam politik praktis, dan dipilih langsung orang rakyat.
Pada pemilihan Wali Kota Bandung tahun 2013, Kang Emil terpilih tidak sebagai kader partai. Saat mencalonkan diri sebagai wali kota, posisi Kang Emil berdasar survey ada di kisaran 6 persen namun berakhir di angka 45 persen saat terpilih sebagai Wali Kota. Karena bukan karder partai, Kang Emil harus berkeliling ke setiap partai, dan kebanyakan dari partai-partai politik menolak karena mereka tentu ingin mendahulukan kader mereka ketimbang memilih orang luar. Namun, sudah menjadi takdir ketika Kang Emil kemudian diusung oleh PKS dan Partai Gerindra, dan terpilih menjadi Wali Kota Bandung