Diorama Ruang Kerja yang Paling Alot Dapat Restu Keluarga

Di bawahnya tertulis kata ”Buru” dan ”Jakarta”. Lalu, deretan tanggal 28/9/79. Itu­lah hari ketika peraih Ramon Magsaysay Award 1995 itu bebas dari Pulau Buru.

Yang lainnya adalah lemba­ran-lembaran Ensiklopedia Citrawi Indonesia (ECI). Proyek Pram dan beberapa kawan untuk membuat kum­pulan sejarah dan kebuday­aan Nusantara.

Di dalamnya Pram menu­liskan banyak hal. Mulai ar­sitektur khas Indonesia, alam sabana dan padang rumput, musik keroncong, sampai mitos Ratu Kidul. Sayang, ECI tidak selesai.

Engel juga punya kumpulan surat-surat Pram. Satu deret khusus untuk ibu dan istrinya, satu deret lagi untuk anak-anaknya. Semuanya jadi ba­han baku untuk salah satu karyanya, Nyanyi Sunyi Seo­rang Bisu.

Koleksi lain adalah puluhan lukisan dan foto keluarga. Ada juga sketsa wajah karakter utama dalam tetralogi Pulau Buru, Minke, yang dikelilingi wajah-wajah perempuan.

Satu sketsa besar, kata Engel, adalah Nyai Ontosoroh, mama angkat Minke. Sedangkan sketsa seorang perempuan lainnya adalah Annelies Mel­lema. Istri pertama Minke.

Satu lagi berwajah Tionghoa, tentu Mei, istri kedua Minke. Dua wajah lainnya, Engel tidak tahu pasti. Tapi, jika menebak dari alur cerita, mungkin Prin­ses van Kasiruta dan Maesa­roh Maramis. Atau bisa juga Miriam de la Croix, sahabat Minke.

Adapun di diorama ruang kerja tadi, di samping kiri meja utama, ada meja yang lebih kecil. Dengan laci.

Di atasnya ada dua mesin tik, satu lampu belajar, dan sebuah buku setebal lebih dari 30 sentimeter. Isinya ada­lah arsip pribadi, tulisan, dan kliping koran milik Pram. Tertulis: Arsip Pribadi 1999.

Kata Engel, dari seluruh isi ruangan tersebut, hanya meja samping, tempat sampah, mesin faks, dan dua lampu belajar yang tidak berasal dari ruang kerja asli Pram di rumahnya di Bojong Gede. ”Sisanya asli,” kata Engel.

Dinding ruang kerja juga dihiasi beberapa potret dan pigura penghargaan. Salah satunya, di dinding kiri, ada­lah UNESCO Madanjeet Singh Prize yang diberikan kepada Pram tahun 1996.

Di dinding sebelah kanan ada pula penghargaan Fu­kuoka Cultural Grand Prize dari Jepang pada 2000. Pen­ghargaan itu diberikan ke­pada Pram atas kontribusinya menuliskan tentang kehidu­pan ”jugun ianfu”, para pe­rempuan Indonesia yang dijadikan tawanan budak seks tentara Jepang dalam karya­nya, Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan