Aktif Ekshibisi, Silaturahmi hingga Jadi Juru Damai

Untuk memberikan contoh, Rustuty pun hidup dari hasil usahanya sendiri. Itu sedikit berbeda dengan para raja lainnya yang masih mendapat bantuan dari pemerintah. Dia membuka salon, tempat menjahit, dan mengajari beberapa warganya untuk ikut berwirausaha. Meski, bukan perkara mudah membuat warga mau berwirausaha.

Saat ini Rustuty menyerahkan hidupnya secara total kepada warga. Empat anaknya sudah dewasa dan bekerja di luar kampung. Ada yang bekerja di perusahaan asal Jepang, di Pertamina Sorong, dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran Jakarta, dan yang terakhir menjadi Kasatpolair Polres Raja Ampat. Dua laki-laki dan dua perempuan.

Sementara itu, sang suami Sri Harijanto Tjitro Soeksoro telah meninggal pada 2006. Rustuty punya kenangan tak terlupakan bersama suaminya, terutama mengenai asal usulnya. Sebab, sejarah itulah yang membuat putra putri mereka saat ini bergelar raden mas dan raden ayu. Ya, sang suami merupakan keturunan raja di Jawa, Mangkunegara III. ’’Itu laki-laki Jawa yang paling berani,’’ kenangnya.

Sebelum menikah, Tjitro menyembunyikan identitasnya sebagai pangeran. Dia langsung jatuh cinta saat kali pertama bertemu dengan Rustuty. Awalnya, pihak keluarga Rustuty menolak karena terikat dengan aturan kerajaan. Namun, perjuangan yang gigih dari seorang Tjitro meluluhkan hati Rustuty. Dia pun mengiyakan dengan syarat bercerai setelah setahun. ’’Tapi, nggak jadi cerai karena begitu nikah, langsung hamil,’’ ucap perempuan kelahiran Makassar itu. Putra pertamanya baru berusia empat bulan, dia sudah hamil lagi, dan seterusnya.

Rustuty juga baru mengetahui bahwa Tjitro adalah bangsawan setelah datang ke Jawa. Saat itu dia sudah pasrah karena dalam bayangannya, ketika di Jawa, dia akan bertani sebagaimana umumnya masyarakat Jawa kala itu. Ternyata, mereka disambut secara adat dengan begitu meriah. Marahlah Rustuty karena sang suami menyembunyikan identitasnya. Namun, di luar itu, bagi Rustuty, Tjitro adalah orang yang sangat sabar.

Rustuty punya harapan bagi kelangsungan kerajaan-kerajaan di Nusantara. ’’Budaya harus kita angkat kembali. Karena lewat budaya, etika akan terbangun kembali,’’ tuturnya.

Dengan begitu, generasi muda tidak sampai terbawa arus peradaban yang negatif. Mulai tawuran hingga korupsi. Dia yakin, praktik korupsi bisa hilang bila setiap orang mengingat kembali ajaran luhur budayanya.

Tinggalkan Balasan