Tak Mempan Diintervensi saat Putuskan Mitigasi

Mereka adalah orang-orang yang selalu dicari ketika terjadi aktivitas di gunung berapi. Karena kepakarannya, Surono dan Asep Saepuloh hingga saat ini dipercaya untuk menganalisis fenomena geologis yang terjadi.

BAYU PUTRA-HILMI SETIAWAN, Jakarta


LETUSAN Gunung Merapi pada 27 Oktober 2010 masih tercatat sebagai bencana vulkanologi dengan jumlah pengungsi terbanyak di era modern. Jumlahnya sekitar 1 juta jiwa, dengan 417 ribu di antaranya berada di tenda-tenda pengungsian. Tidak mengherankan karena letusan tersebut paling besar bila dibandingkan dengan letusan-letusan Merapi yang pernah terjadi.

Tidak banyak yang mengetahui, ada pergulatan besar dalam upaya mengevakuasi warga. Surono yang saat itu masih menjabat kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) berada dalam posisi dilematis. ’’Betapa sulitnya waktu itu di Jogja. Merapi akan meletus lebih besar, tetapi saya tidak boleh ngomong seperti itu,’’ tuturnya. Sebab, itu akan menimbulkan kepanikan dan akan membunuh perekonomian Jogja.

Akhirnya, dia membuat skenario evakuasi. Masyarakat tidak perlu tahu bahwa letusan Merapi akan dahsyat, yang penting mereka selamat. Dia lalu menetapkan jarak aman dari puncak Merapi sejauh 10 kilometer. ’’Tapi, kalau itu saya umumkan, nggak akan ada yang percaya. Wong desanya Mbah Maridjan yang 6 kilo saja nggak kena,’’ kenangnya saat ditemui di tepi kolam renang lantai 6 apartemennya di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat, Jumat (29/12).

Akhirnya, dia hanya mengumumkan daftar desa yang harus dikosongkan, tanpa menyebut jaraknya dari puncak Merapi. Strategi itu berhasil. Kemudian, aktivitas Merapi meningkat sehingga radius aman diperluas menjadi 15 kilometer. Baru saja ditetapkan, aktivitas Merapi makin meningkat. Tak dinyana, volume kubah lava sudah mencapai 3,5 juta meter kubik. Merapi akan meledak.

Dia langsung menelepon semua bupati di sekitar merapi dan menetapkan jarak aman 20 kilometer. Tentu saja para bupati protes. Surono bergeming. Benar saja, tidak lama setelah itu, ”kemarahan” Merapi memuncak. Merapi meletus dahsyat, memuntahkan segala material dari perutnya. Sebanyak 353 orang tewas, mayoritas merupakan warga yang menolak dievakuasi, termasuk Mbah Maridjan.

Peristiwa Merapi memang langsung melambungkan nama Surono. Keberaniannya mengambil keputusan dengan perhitungan yang cermat akhirnya diakui banyak kalangan. Masyarakat Jogja pun memberikan penghargaan dengan memanggilnya Mbah Rono. Mbah bukan dalam arti harfiah, yakni kakek, melainkan orang yang dihormati masyarakat.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan