JAKARTA – Praktik politik uang kembali menjadi ancaman dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak tahun depan. Lebih parahnya, seluruh daerah penyelenggara pilkada masuk dalam zona merah praktik tersebut.
Deputi Bidang Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pahala Nainggolan mengatakan, potensi rawan itu sebenarnya masih sama dengan pilkada sebelumnya.
Pada hasil studi sebelumnya, politik uang terjadi lantaran terjadinya kesenjangan antara kemampuan keuangan paslon kepala daerah dan biaya yang harus dikeluarkan selama pilkada bergulir.
”Di Jawa yang paling tinggi biaya (pilkada) karena pemilihnya juga banyak,” terangnya kepada Jawa Pos (Jabar Ekspres Group), kemarin.
Di pilkada serentak mendatang, tiga provinsi besar di Jawa turut menyelenggarakan pilkada. Yakni, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Untuk keseluruhan, ada 171 daerah yang melaksanakan pilkada. Perinciannya, 17 provinsi, dan 154 kabupaten/kota.
Tingginya biaya pilkada umumnya tidak sebanding dengan kekayaan calon kepala daerah. Dia mencontohkan Dadang S. Mochtar, mantan Bupati Karawang yang pernah menyatakan bila biaya politik di Jawa paling tinggi mencapai Rp 100 miliar untuk menjadi bupati. Padahal, mayoritas calon rata-rata hanya memiliki harta Rp 8,9 miliar.
Kesenjangan itu memunculkan celah bagi calon kepala daerah mencari dana pemenangan pilkada dari “sponsor”. Bagi calon petahana, biasanya mencari pemasukan tambahan dengan cara ”memeras” rekanan proyek dan pejabat pemerintah daerah (pemda).
”Tambahan dana pilkada juga diduga berasal dari penggunaan dana hibah, bansos dan PBJ (pengadaan barang/jasa),” jelasnya.
Selama ini, pengawasan terhadap proses pilkada sudah dilakukan. Baik, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), KPU maupun Bawaslu. Namun, praktik itu tetap saja masih terjadi. Bahkan, kondisinya semakin parah seiring belum adanya sistem pencegahan terjadinya politik uang tersebut. ”Selama ini lingkarannya begitu-begitu saja, tidak berubah,” jelasnya.
KPK sendiri sudah melakukan berbagai cara untuk mencegah prakti tersebut. Misal, berkomunikasi dengan sejumlah partai politik (parpol) terkait dengan transparansi keuangan parpol. Namun, belum ada tindaklanjut yang signifikan dari pencegahan itu. ”KPK hanya sebatas mengusulkan, yang membuat aturan bukan kami,” paparnya. (tyo/rie)