Bertahan karena Kebanggaan Memakai Seragam Perawat

Tenaga medisnya cukup. Ada satu dokter plus puluhan pe­gawai negeri sipil dan ditam­bah tenaga honorer. Jika di­total, 60 petugas bekerja di sana. Puskesmas tersebut juga melayani rawat inap ber­modal empat ruangan kamar.

Meski tanpa gaji, tugas yang ditanggung 10 tenaga honorer itu sama beratnya dengan rekan-rekan mereka yang lain. Ke­terampilan mereka dalam merawat pasien juga sama sekali tak kalah cekatannya dengan pegawai yang menda­pat gaji bulanan. Bahkan, me­reka sesekali harus berdinas malam demi merawat dan menjaga pasien yang dirawat inap agar segera pulih dari sakit.

Termasuk harus siap men­ghadapi berbagai kendala dalam memberikan pelayanan. Misalnya, saat meladeni pasien yang rewel.

Bayangkan, sudah tak di­gaji, mesti melewati medan yang berat menuju tempat kerja, dan di tempat kerja ha­rus berhadapan dengan pasien yang bandel atau doyan uring-uringan.

Mereka rata-rata bermukim di kecamatan yang sama, ha­nya berbeda desa. Tapi, setiap hari perjalanan menantang harus mereka lakoni. Melin­tasi belantara, dengan medan tak ramah, jadi menu harian.

”Kami hanya berharap se­gera diangkat jadi honorer, dengan SK bupati yang jadi impian terdekat kami. Syukur-syukur bila suatu saat dipa­tenkan jadi aparatur sipil negara (ASN),” kata Jumarni.

Sementara itu, Bupati Ka­bupaten Buton Utara Abu Hasan tak menampik bahwa memang ada tenaga honorer yang tak mendapat gaji ka­rena minimnya anggaran yang tersedia. ”Tenaga honorer yang mengajukan mendapatkan SK bupati menumpuk. Kini tengah divalidasi dan disin­kronkan apakah mereka bisa diangkat menjadi tenaga ho­norer atau tidak. Pertimbangannya kemampuan anggaran,” ujarnya.

Kendati demikian, mantan Karo Humas Pemprov Sultra itu tetap mengimbau agar kepala puskesmas memper­hatikan nasib tenaga honorer. Misalnya, melalui anggaran taktis untuk meringankan beban mereka.

Dia pun berjanji menyele­saikan masalah tenaga hono­rer yang tak mendapat gaji. (*/JPG/c5/ttg/rie)

Tinggalkan Balasan