Terobosan Direksi Sering Berhadapan dengan Jebakan Hukum

jabarekspres – Kriminalisasi terhadap direksi BUMD sering terjadi karena penegak hukum mengabaikan prinsip business judgement rules (BJR). Terobosan direksi BUMD kerap dibenturkan dengan berbagai celah hukum. Padahal, sepanjang tidak ngentit (mencuri) uang perusahaan, seharusnya tindakan direksi tidak dipersalahkan.

DOSEN Universitas Islam Indonesia (UII) yang juga pakar penyehatan perusahaan Suwarsono Muhammad menyatakan, kebanyakan BUMD di Indonesia sulit berkembang. Kebanyakan BUMD yang selama ini tumbuh dan berkembang berbentuk bank daerah.

Kondisi itu terjadi karena penyehatan BUMD jauh lebih sulit daripada perusahaan biasa. ”Sebab, BUMD itu privat bukan, publik juga bukan,” katanya dalam diskusi bertema Mewujudkan Profesionalisme Manajemen BUMD di Fisipol UGM (10/4). Suwarsono menjelaskan, selama ini kebanyakan BUMD berhasil disehatkan karena datangnya direksi dari luar perusahaan. Mereka biasanya punya banyak terobosan yang kadang tidak normal.

Ketidaknormalan itulah yang sering menghadapi jebakan-jebakan hukum. Apalagi, penegak hukum kerap berbeda dalam menafsirkan aturan. ”Jadi, menurut saya, sepanjang tidak ngentit duit untuk kepentingan pribadi, janganlah terobosan BUMD itu dikriminalkan,” katanya.

Jebakan-jebakan itu terjadi karena, antara lain, BUMD tidak mempunyai payung hukum yang jelas. Sudah lebih dari 12 tahun Badan Kerja Sama BUMD Se-Indonesia (BKSBUMDSI) berjuang mewujudkan adanya undang-undang baru tentang BUMD.

UU BUMD yang ada saat ini sudah terlalu uzur. Yakni, UU 5/1962. UU tersebut banyak bertentangan dengan undang-undang lain. Itulah yang sering menjadi celah kriminalisasi terhadap direksi BUMD di Indonesia.

Namun, perjuangan panjang itu tak kunjung membuahkan hasil. ”Draf RUU (rancangan undang-undang)-nya sempat masuk prolegnas (program legislasi nasional) pada 2008, tapi kemudian dikeluarkan,” kata Sekjen BKSBUMDSI Syauqi Suratno.

Selagi BUMD tak memiliki payung hukum yang jelas, para direksi pasti waswas dalam menjalankan roda bisnis perusahaan. Syauqi mengungkapkan, selama ini dalam hal pembinaan, BUMN berada di bawah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Karena itu, BUMD sering dianggap sebagai bagian dari pemerintah daerah.

Lantaran pembinaannya ada di bawah Kemendagri, koordinasi juga ada di bawah Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. ”Nah, nyambungnya di mana coba? BUMD dituntut profesional, melakukan inovasi bisnis, tapi ada di bawah Kemenko Polhukam,” kata Syauqi. Dia mengaku pernah menulis usulan ke pemerintah agar ada Menko tersendiri yang menjadi koordinator BUMD seluruh Indonesia.

Tinggalkan Balasan