Terobosan Direksi Sering Berhadapan dengan Jebakan Hukum

Wakil Ketua Badan Kerja Sama BUMD Se-Indonesia Fahmi Akbar Idris menambahkan, sepanjang belum ada kepastian hukum, BUMD sulit bekerja secara profesional. Padahal, semangatnya, BUMD punya peran strategis dalam meningkatkan perekonomian dan penerimaan daerah.

”Ketika belum ada kepastian hukum, BUMD masih berada dalam dua rezim, yakni privat dan publik. Ini yang ngeri-ngeri sedap,” katanya. Tapi, Fahmi setuju dengan pendapat para akademisi. Sepanjang tak terdapat niat jahat untuk mengambil uang perusahaan, seharusnya direksi tidak dipermasalahkan dalam menjalankan kegiatan korporasi.

Pakar hukum pidana Refly Harun menyatakan, saat ini direksi BUMD seperti berada di antara surga dan neraka. Satu kaki berada di surga karena honor, gaji, dan tantiem yang didapat. ”Di sisi lain, kaki mereka berada di neraka karena mudah diincar penegak hukum,” kata Refly.

Refly setuju dengan pendapat Suwarsono. Sepanjang tidak memiliki niat jahat mencuri uang perusahaan, direksi BUMD seharusnya tidak dikriminalisasi atas sebuah tindakan korporasi. Refly sendiri yakin hal semacam itu selama ini tidak terjadi di KPK. ”Kalau di KPK saya 99 persen percaya. Tapi, kalau di penegak hukum lain, ya sebaliknya,” katanya.

Sejumlah curhatan direksi BUMD sempat disampaikan dalam diskusi. Salah satunya diwakili pengacara bernama Deddy Suwadi. Dia merupakan lawyer mantan Direktur Utama PT Anindya Mitra Internasional (AMI) Jogjakarta Topan Satir.

Topan juga dianggap sebagai direksi BUMD yang apes. Kasus Topan berawal adri adanya penyertaan modal tambahan Rp 6,3 miliar pada 2005 untuk digunakan pada 2006.

Penyertaan modal itu tidak dipakai sesuai ketentuan sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Gubernur No 197/kep/2005. ”Penggunaan dana dianggap tidak ada persetujuan gubernur. Padahal, ini konteksnya bisnis, harusnya dipandang dari sisi business judgement rules,” katanya. Saat ini Deddy tengah mencari keadilan untuk Topan di tingkat kasasi. (tel/rul/c10/nw/fik)

Tinggalkan Balasan