jabarekspres.com, BANDUNG – Penegakan hukum pemilu dalam pilkada 2017 menyisakan banyak pekerjaan rumah. Sebab, masih banyak pelanggaran yang ditengarai lolos dari penindakan. Akibatnya, perkara yang semestinya selesai di tingkat pengawas melaju ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilu untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz menilai, secara regulasi, UU Pilkada terbaru mengatur dengan tegas penindakan pelanggaran pemilu. Bahkan, bukan hanya ancaman pidana, ancaman sanksi administrasi berupa pembatalan calon juga dilakukan. Namun, implementasinya tidak berjalan maksimal.
’’Sanksinya serem, tapi praktis sangat sedikit penindakannya,’’ ujarnya dalam evaluasi pilkada yang digelar Bawaslu di Lembang, Bandung, baru-baru ini.
Bahkan, mengenai sanksi administrasi, praktis tidak ada satu pun calon yang dibatalkan. Padahal, aroma politik transaksional masih terasa di sejumlah daerah. ’’Yang ada hanya pidana seperti di Banten,’’ imbuhnya.
Jika merujuk pada aduan yang masuk ke MK, memang banyak pelanggaran yang diadukan pemohon. Dari 50 gugatan, dalil seperti money politics, manipulasi DPT, hingga isu netralitas masih menghiasi.
Menanggapi hal tersebut, anggota Bawaslu Nelson Simanjuntak mengakui bahwa UU Pilkada memang sangat kuat. Namun, dalam implementasinya, ada sejumlah kendala.
Misalnya, sanksi pembatalan bagi money politics. Adanya mekanisme banding ke Mahkamah Agung membuat penerapan hanya bisa dilakukan dua bulan sebelum pemungutan suara. Pasalnya, jika diterapkan mendekati pemungutan suara, hal itu menciptakan potensi ketidakpastian.
’’Misalnya sama Bawaslu dibatalkan seminggu menjelang pemungutan, tapi sampai hari pemungutan, kasasi di MA belum keluar, paslon jadi antara hidup dan mati,’’ terangnya.
Akibatnya, pihaknya terpaksa menerapkan mekanisme untuk jauh hari. Sementara itu, untuk kasus yang dekat dengan hari pemungutan, digunakan mekanisme sanksi pidana.
Selain itu, persoalan yang menghinggapi pengawas adalah minimnya sumber daya manusia yang andal di tingkat panwaslu. Implikasinya, secara tidak langsung hal tersebut memengaruhi kinerjanya dalam penindakan. ’’Jujur saja, panwas tingkat kabupaten/kota paling berisiko,’’ imbuhnya.
Meski demikian, dia membantah bahwa penegakan hukum pemilu tidak berjalan. Di sejumlah kasus, upaya tersebut cukup berhasil. Hingga kemarin, setidaknya sudah ada 20 vonis pidana yang diterima pelaku pelanggaran yang tersebar di beberapa daerah seperti Banten dan lainnya.