Ke Gua Beloyot di Pegunungan Kars yang Melelahkan

Untuk itu, Franly bersama warga terus mengembangkan sumber ekonomi lainnya. Yang sekarang sedang dicoba adalah pertanian terpadu. Di tenggara Kampung Merabu terhampar lahan 25 hektare khusus untuk pertanian terpadu itu. Warga menamainya Doko’an Lemmu atau kandang sapi. ”Kami sediakan 6 hektare untuk pakan sapi. Kemarin banyak sapi yang mati karena kesulitan pakan,” jelas dia.

Bertani dan beternak rupanya bukan hal mudah bagi warga Dayak Lebo yang terkenal suka membuat rumah tersebut. Tiga kali uji coba belum membuahkan hasil. Yang terakhir, saat ini, dari 50 sapi bantuan pemerintah, tinggal setengahnya. Maklum saja, selama ini warga terbiasa langsung mengambil ”panen” di hutan. ”Butuh sayur, tinggal masuk hutan. Mau makan daging, masuk hutan berburu kancil, payau (rusa), atau babi,” terang bapak dua anak tersebut.

Franly menyebutkan, tidak ada yang salah dari kebiasaan itu. Bahkan cenderung bagus karena warga punya kesadaran tinggi menjaga hutan. Namun, mental bermanja pada alam itulah yang hendak diubah. Apalagi, kebutuhan hidup terus bertambah. ”Mau berburu sebanyak apa? Tidak akan cukup,” tambah dia.

Community Engagement and Protected Area Manager Kaltim TNC Taufik Hidayat menuturkan, cara yang paling mudah ialah memberikan contoh langsung. TNC yang menjadi fasilitator warga Merabu membawa petani transmigran dari Jawa yang tinggal di Berau. ”Petani ini expert. Dia mengajak warga bersama-sama mengolah lahan,” ujar Taufik.

Yang juga menarik dari Kampung Merabu adalah panel surya (solar panel) komunal berkekuatan 600 Watt Peak. Sudah siap lahan 1 hektare di atas bukit di belakang kampung. Proyek yang dikerjakan PT Akuo Energy itu didanai Millennium Challenge America Indonesia (MCAI). ”April ini dibangun, selesai enam bulan targetnya,” ucap Franly.

Pengurus kampung sudah membuat perusahaan PT Sinang Puri Energy untuk mengelola panel surya itu. Irsani, warga asli Merabu, ditunjuk sebagai komisaris. Listrik dari panel surya itu tidak akan dijual ke kampung lain. ”Kampung kami boleh di tengah hutan, tapi punya PT,” kata Franly, lantas tersenyum.

Warga Merabu yang terpencil juga bisa mengakses internet. Mereka punya Vsat yang terhubung ke satelit. Internet dengan kecepatan 512 Kbps itu diletakkan di kantor kepala kampung. Area jangkauannya 100 meter. ”Meski di tengah hutan, kami bisa mengakses dunia,” ucap Franly. (*/c5/c9/ari/sep/JPG/rie)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan