bandungekspres.co.id, JAKARTA – Jumlah sekolah yang bisa menyelenggarakan ujian nasional berbasis komputer (UNBK) masih sangat minim. Yang sudah siap dan mendaftar sebanyak 12.023 unit. Jumlah itu hanya 13 persen dari total sekolah penyelenggara ujian nasional (unas) yang mencapai 97.645 unit.
Kondisi di jenjang SMP paling memprihatinkan. Dari total 60.063 unit sekolah, yang mendaftar jadi pelaksana UNBK hanya 3.216 unit (5,35 persen). Di jenjang SMK, sebanyak 5.268 di antara 11.919 sekolah siap menggelar unas berbasis komputer (44,19 persen). Sementara itu, di jenjang SMA, ada 3.539 di antara 25.663 sekolah yang siap menyelenggarakan UNBK (13,79 persen).
Kepala Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik) Kemendikbud Nizam mengatakan, sekolah yang mendaftar UNBK berpotensi terus bertambah Jumlah finalnya ditentukan 15 Januari nanti. Saat itu sekaligus menetapkan sekolah mana akan menumpang UNBK di mana. ”Nanti provinsi akan menyampaikan ke daerah masing-masing,” jelasnya.
Mekanisme pelaksanaan Unas 2017 akan diatur dalam prosedur operasi standar (POS) yang ditetapkan dalam rapat pleno 9-10 Januari. ”Termasuk teknis sekolah yang akan menumpang UNBK di sekolah lain. Idealnya, jaraknya masih dalam radius 5 km,” kata Kepala Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Erika Budiarti Laconi.
Penerbitan POS Unas 2017 molor karena menunggu keputusan final soal moratorium atau tidak. Setelah ada keputusan unas dilanjutkan, baru BSNP mengebut pembahasan POS Unas 2017.
Peneliti Kebijakan Pendidikan Jejen Musfah mendukung komputerisasi unas. Hal itu bisa menekan angka ketidakjujuran siswa karena soal ujian yang berbeda. Penggunaan komputer juga memungkinkan ujian tidak perlu dipaksakan serentak. ”Ujiannya bisa beberapa gelombang. Tidak masalah karena soal berbeda, tapi bobotnya sama,” katanya.
Meski begitu, UNBK bukan tanpa persoalan. Utamanya berkaitan dengan hal-hal teknis penyelenggaraan. Misalnya listrik yang padam, kemampuan teknisi, hingga kemampuan sekolah dalam menyediakan perangkat komputer.
Selain itu, masalah yang harus dipecahkan adalah soal penentu kelulusan. Dulu, saat hasil unas dijadikan sebagai penentu utama kelulusan, semua cara digunakan agar siswa bisa lulus. Cara-cara yang kurang baik pun dilakukan. Yang terlibat bukan hanya siswa, tapi juga guru, orang tua, hingga sekolah.
”Sekarang porsi terbesarnya nilai rapor. Maka, nilai rapor dinaikkan begitu rupa agar siswanya lulus,” ujar akademisi dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, itu.