Kehadiran tenaga kerja asing (TKA) mengubah wajah Desa Morosi, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Warga harus belajar bahasa Mandarin. Tulisan di warung pun beraksara Mandarin.
—
SUASANA jalan Desa/Kecamatan Morosi, Konawe, tampak lengang siang itu, Jumat (30/12). Hanya satu-dua kendaraan truk dan mobil operasional proyek yang terlihat hilir mudik di jalan tanah (pengerasan) tersebut.
Mereka keluar masuk kawasan megaindustri Morosi. Di situ ada pembangunan pabrik besar pengolahan mineral (smelter) nikel dan PLTU yang dimulai tiga tahun lalu.
Kelengangan itu berubah pukul 15.00 Wita. Satu per satu pekerja semburat dari lokasi proyek. Baik pekerja lokal maupun TKA. Pekerja pribumi langsung pulang ke rumah masing-masing. Sementara itu, para TKA menuju deretan kios semipermanen yang berjarak 100 meter dari pintu masuk proyek. Totalnya sekitar 15 kios. Mayoritas beratap seng, asbes, dan daun sagu kering serta berdinding papan.
Deretan kios yang lebih mirip pasar templok itu dihuni warga setempat yang berjualan di sana. Barang yang dijual cukup lengkap. Ada perkakas rumah tangga seperti baskom, ember, gayung, gantungan baju, dan bak air. Beberapa kios juga menjual pulsa telepon, pulsa listrik, kartu perdana, sampai aksesori handphone. Namun, kios paling banyak digunakan sebagai warung.
Ada juga toko buah dan toko kelontong yang menjual galon air mineral isi ulang, mi instan, biskuit, dan kopi saset. Bukan hanya itu, penjual batu akik juga menghiasi deretan kios tersebut. Jasa rental mobil pun bisa ditemukan di area yang terletak satu jam perjalanan darat dari Kota Kendari itu. Ada pula kios yang khusus menjual minuman keras jenis bir.
Pasar dadakan tersebut ramai menjelang petang. Pantauan Jawa Pos (Jabar Ekspres Group), pukul 17.00-18.00 Wita, tidak banyak warga lokal yang mengunjungi kios-kios itu. Pembelinya mayoritas pekerja asing asal Tiongkok. Lebih dari 20 pekerja asing menuju kios-kios tersebut setiap menit. Artinya, sekitar 1.200 orang dalam satu jam saja.
Jumlah itu meningkat dua kali lipat setelah petang. Setiap menit ada puluhan pekerja asing yang keluar dari kawasan industri. Mereka berjalan bergerombol lima sampai sepuluh orang. Dari dandanannya, mayoritas identik dengan pekerja kasar atau unskilled worker. Penampilan mereka sangat sederhana. Bahkan bisa disebut kucel.