Wisata Halal Hanya Tren

”Wisata halal itu bagus. Halal tourism sebenarnya ada dua devenisi ada yang memaknainya sebagai kawin kontrak, agar halal dan lain sebagainya. Ada juga yang memaknainya ketika kita datang ke pesantren-pesantren, seperti di NTB. Kemudian seluruh aktifitas wisatanya itu benar-benar syariah waktu solat ya solat, tidak menyediakan minuman-minuman yang haram, hal-hal yang sesederhana itu,” kata Muhammad Reza Syariffudin Zaki, pada Jabar Ekspres, belum lama ini.

Alumnus Magister Diplomasi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada itu, menyebutkan Negara-negara luar yang nota bene non-muslim justru telah menerapkan konsep tersebut. Hanya saja, lanjut dia bedanya untuk Indonesia bisa menerapkan konsep Alquran dan hadits. Meski demikian secara marketebel konstituennya bukan berarti orang-orang muslim saja, tetapi juga masyarakat global yang memang ingin mengenal Islam itu seperti apa.

”Kita jauh tertinggal dengan Thailand, Negara yang tidak menganut agama Islam tetapi kemudian mereka sudah penetrative. Mereka sudah membangun hotel-hotel syariah, pasar syariah dan sebagainya kemudian itu menjadi potensi besar. Mereka sudah memenuhi angka 15 juta wisatawan. Hal-hal itu yang kemudian saya pikir, harus dimulai dari desa-desa,” tambahnya.

Namun, konsep ini menurutnya belum tentu akan selaras dengan bangsa Indonesia yang beragam. Ada satu kasus di Bali, ketika konsep syariah ditawarkan justru memunculkan banyak protes dari masyarakat setempat. Lantas apa yang sebenarnya harus diterapkan dalam konsep Wisata Halal tersebut, ditengah alergi masyarakat terhadap “Arabnisasi” terutama sering muncul di media social akhir-akhir ini. Menurut Reza, masyarakat harus dapat membedakan antara konsep budaya dengan agama.

”Bedakan antara budaya dengan konten presedental agama dengan capital Tuhan. Jadi ketika kita menampilkan hal-hal tourism, lokalwism juga harus dibangkitkan. Contoh misalnya, ketika kita bicara fashion ketika kita datang ke Uni Emirat Arab, mungkin yang ditampilkan itu adalah gamis, misalnya dengan sorbannya. Tapi ketika datang ke Indonesia, maka peci menjadi salahsatu symbol, misalnya,” tambahnya.

Yang ingin ditandaskan pendiri Rumah Imperium itu, sebutnya dimana Wisata Halal jangan dimakanai sempit tetapi harus dimaknai dimana di dalamnya nantinya akan diajarkan nilai-nilai Islam yang universal. ”Dengan media represing, wisata sembari dengan memperkenalkan potensi desa yang di luar dari konten agama. Misalnya dengan ekowisatanya dia, tapi dikemas secara sar’i,” tambahnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan