Bagi anak-anak miskin di Aceh, kena kanker berarti menunggu mati. Ratna Eliza bersama C-Four berusaha membangkitkan mereka. Agar berani menjalani dan mengejar hidup.
BAYU PUTRA, Banda Aceh
TIDAK terlalu lama Dila Rina Arianti berlarian di dalam rumah singgah C-Four. Namun, tiba-tiba dia sudah membuka baju. Dia berteriak meminta air es untuk disiramkan ke tubuhnya. Dia kepanasan bukan kepalang.
Itu adalah efek kemoterapi yang dia jalani sehari sebelumnya di RS Zainoel Abidin Banda Aceh. Dia harus menjalani kemoterapi untuk melawan fibrosarcoma (tumor ganas) yang diidapnya.
Bagi Dila yang sekecil itu, apa itu fibrosarcoma tidaklah dimengerti. Yang dia tahu hanyalah ada benjolan sedikit lebih besar dari kepalan tangan orang dewasa di bagian kanan wajah. Nyaris menutupi mata kanan bocah asal Kota Kuala Simpang, Kabupaten Aceh Tamiang, itu.
Yang diketahui Dila adalah kepalanya kini botak tanpa sehelai rambut pun. Setelah enam bulan, dia tinggal di rumah singgah Children Cancer Care Community atau biasa disebut C-Four.
C-Four didirikan Ratna Eliza pada Januari 2014. Dia staf keuangan di sebuah SMA swasta di Banda Aceh. Awalnya, namanya Komunitas Peduli Anak Kanker (KPAK). Kemudian, pada Agustus 2015 nama KPAK diubah menjadi C-Four. Kini relawannya berjumlah 20 orang.
Munculnya C-Four berawal dari pertemuan Ratna dengan anak tetangganya, Annisa Alqaisya Funnari. Dia menderita kanker limfoma atau kelenjar getah bening. ”Saya pikir gondok, waktu itu saya belum pernah tahu itu kanker,” tutur perempuan kelahiran 28 Oktober 1974 tersebut.
Karena tetangganya itu kurang mampu, dia berupaya membantu mencarikan bantuan ke dinas sosial. Sebab, Annisa harus dirujuk ke RS Kanker Dharmais Jakarta. BPJS menanggung biaya perawatan hingga tiket pesawat, tapi tidak untuk biaya hidup selama di Jakarta.Jawaban dari dinas sosial setempat membuat dia kecewa. ”Mereka bilang tidak ada anggaran untuk anak kanker,” kenang ibu tiga anak itu.
Akhirnya, dia meminta bantuan kepada kawan-kawannya di Palembang. Dana pun terkumpul dan Annisa bisa berangkat ke Jakarta.
Awalnya, Ratna hendak ikut menyusul Annisa ke Jakarta. Namun, tiba-tiba dia mendapat informasi dari relasinya di Aceh tentang anak penderita kanker lain, Airan Barat. Dia menderita retinoblastoma (kanker mata). Matanya keluar. ”Saya tidak kuat melihatnya,” kenang Ratna sembari menunjukkan foto Airan. Setelah tiga kali menjalani kemoterapi, Airan meninggal.