”Apakah bentuknya Perda PPP, apakah me-marketing-kan Kota Bandung dengan cara baik. Kalau itu terjadi, itu yang bener menurut saya,” ungkapkannya.
”Membangun kota walaupun APBD nya pas-pasan, tapi perubahannya bisa signifikan. Tapi tanpa PPP, APBD pas-pasan hasilnya perubahan juga akan pas-pasan,” tambah Emil.
Menurut dia, ketika PPP berjalan, Pemkot Bandung biasanya kerjasama minimal 15 tahun dan maksimal 30 tahun. Prosesnya, dalam waktu dan hasil yang menguntungkan, dengan pembayaran cicilian.
”Contohnya, kalau tidak pakai swasta kita sanggup nggak bangun fly over hanya dua pertahun dengan kondisi Bandung seperti ini? Berarti untuk mengejar 30 titik, butuh 15 tahun. Berarti tiga kali jabatan wali kota,” urainya.
Tapi, kata dia, kalau dengan PPP 30 titik, hal tersebut bisa selesai di jabatan satu wali kota. Sementara anggarannya dicicil selama 15 tahun.
Contoh mudah dari PPP tersebut, kata dia, kalau saja PPP seperti pasangan suami istri, maka harus nabung dulu baru beli rumah, atau punya rumah dulu baru nyicil,
”Kan kalau logika yang benar itu punya dulu baru nyicil, nggak harus nunggu 15 tahun. Nah, logika ekonomi modern ini tidak dipakai dalam membangun di kota dan kabupaten,” pungkas Emil. (edy/rie)