Bisa Saksikan ”Tiga Dara” yang Ngetop 60 Tahun Silam

Dengan bermunculannya kamera digital beresolusi tinggi dan bangkrutnya beberapa produsen film seluloid besar di dunia, penggunaan film seluloid pun semakin ditinggalkan. Mesin scanner itu pun semakin jarang digunakan. ”Kami memikirkan pemanfaatan lain mesin scanner tersebut untuk menyelamatkan arsip film-film tua Indonesia,” ujarnya.

Yoki menjelaskan, ada dua terminologi yang berbeda dalam dunia konversi analog ke digital; digitalisasi dan restorasi. Digitalisasi murni hanya mengonversi format analog ke digital. Sedangkan restorasi dibagi dua lagi: restorasi fisik dan digital. ”Film berusia tua biasanya ada yang robek, patah, kotor, beberapa frame ada yang hilang. Harus diambil dari copy yang lain (jika ada, Red), lalu digabungkan. Nah, itu restorasi fisik,” urai pria berkacamata kelahiran 1970 tersebut.

Setelah dibersihkan, diperbaiki, dan kondisi fisik film dianggap paling optimal, film di-scanning dan masuk ke proses restorasi digital. Dengan alat scanning yang dimiliki, Render Digital Indonesia-lah yang kali pertama melakukan restorasi film di Indonesia. Sebelum Tiga Dara, Render merestorasi film Indonesia klasik tahun 1950 yang bertajuk Darah dan Doa pada 2013 serta film populer Lima Sahabat (1981) pada 2014. Pada 2012 Render melakukan digitalisasi 29 judul film klasik koleksi Sinematek Indonesia.

Kembali ke proses restorasi Tiga Dara, setelah melakukan diskusi dengan perwakilan EYE Museum Belanda di sela-sela Cannes Film Festival 2012, disepakati bahwa jika sampai Desember 2012 EYE Museum (pemerintah Belanda) belum dapat memberikan kepastian waktu dimulainya restorasi Tiga Dara, proses restorasi diambil alih oleh pihak swasta Indonesia, yaitu SA Films dan Render Digital Indonesia.

Pada Februari 2013, dua bulan setelah batas waktu yang disepakati, Render dan SA Films mulai bergerak. Mereka mengupayakan pengembalian materi asli film ke Indonesia dengan menghubungi keluarga (almarhum) Usmar Ismail, Sinematek Indonesia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Pariwisata, juga berkomunikasi intensif dengan EYE Museum.

Setelah materi asli film (seluloid 35 mm) tiba kembali di Indonesia, dimulailah pemeriksaan fisik, pembersihan, perbaikan, dan pemulihan sesuai kemampuan serta fasilitas teknis restorasi fisik yang dimiliki tim Render. Kemudian, hasil tersebut di-scan pada resolusi 2K untuk dianalisis. Melihat kenyataan bahwa kondisi fisik film sudah buruk, bahkan sangat buruk pada beberapa frame, diputuskan melakukan restorasi fisik film di laboratorium khusus film yang memiliki fasilitas lebih baik.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan